Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 27 Oktober 2015

Literasi : Sebuah Budaya yang (Sedang) Hilang

Oleh : B.S.H.
Kita memang tak bisa hidup selamanya, tapi kita bisa hidup melalui cerita yang kita buat, untuk dikenang generasi selanjutnya.

Modern, kata yang sering kita dengar di zaman yang serba serbi teknologi ini. Mulai dari peralatan kantor sampai bertani serba teknologi terbaru. Semua kalangan menikmatinya, karena ini adalah zaman yang paling di tunggu manusia dimana mereka tidak harus bekerja keras lagi karena mereka hanya tinggal perlu bekerja se-cerdas mungkin. Zaman dimana persaingan menjadi semakin menjadi-jadi individulaisasi dimana-mana globalisasi menjadi topik yang terhangatkan dan moderenisasi menjadi sebuah kebanggaan. Budaya menjadi hal yang memalukan, adat istiadat ditinggalkan, menjadi penduduk adat adalah hal yang memalukan. Namun saya disini tidak menyalahkan zaman yang disebut modern ini, tapi hanya mengingatkan kepada orang yang lupa akan jati dirinya, lupa bahwa setiap zaman membawa racunnya, dan dia menelan hal ini begitu saja.

Dampak dari moderenitas ini pun membuat banyak manusia mempunyai pola hidup yang hedonis, tak peka dalam setiap permasalahan di sekitar ruanglingkup kehidupannya –yang dalam bahasa jawa diplesetkan menjadi pekok (Bodoh)-. Yah inilah memang racun yang dibawa oleh zaman ini, dimana setiap orang harus terus berjuang melawan orang sekitarnya, setiap orang meningkatkan sifat homo homini lupus-nya dan membuat sifat zoonpoliticon-nya menjadi sekedar batu pijakan untuk mendekati mangsanya. Heterogensi dari sebuah masyarakat sudah mulai banyak terlihat, seolah mereka menyatu, tapi mereka terpisah satu sama lain –bahkan tidak saling kenal satu dengan yang lain-. Hal ini mengalir terus sampai pada titik dimana tidak ada lagi kepedulian terhadap manusia, tidak ada lagi si tou timou tumou tou "manusia yang hidup untuk menghidupi (mendidik) manusia yang lain" –menurut Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau yang dikenal di Manado sebagai Sam Ratulangi- yang pada akhirnya bermuara kepada tidak adanya kepedulian untuk ilmu pengetahuan.

Bukan bersifat pesimistik tapi ini sudah benar terjadi –dan akan terus berlangsung- di zaman ini, dimana teknologi membunuh sifat kemanusiaan manusia, membuang rasa kepekaan terhadap lingkungan dan sekitarnya hanya untuk mengejar ketertinggalan zaman. Semua dilakukan hanya demi mendapat gelar termoderen dan memoderenisasi semua –termasuk tingkah laku-. Tidak ada yang salah memang dengan sifat memoderenisasi ini tapi kita harusnya tau dan faham mana yang harus di moderenisasi dan mana yang dibiarkan begitu saja kemurniannya sampai kita kembali lagi nanti menghadap Sang Pembuat skenario.

Adapun dampak yang begitu nampak saat ini terasa adalah mulai menurunnya tingkat kesastraan seseorang dan tingkat kemauan seseorang untuk menuliskan setiap pemikiran dan hasil kerjanya dalam sebuah manuskirp yang entah dalam bentuk elektronik ataupun dalam bentuk tertulis dalam kertas atau bahkan batu dan pohon-pohon. Mulai menurunya kelompok-kelompok yang memperjuangkan dan mempelaari ajaran dari orang terdahulu melalui buku atau tulisannya dan menuliskannya kembali seperti para filusif romawi kuno. Tidak ada lagi semangat Plato, Socrates, Ibnu Sina, dan yang sejenisnya dalam memperjuangkan budaya literasi.

Literasi telah mulai menghilang, dan akan terus menghilang jika para penerus zaman ini –Kita- tidak mau lagi dan tidak peduli lagi dengan budaya ini. Tak bisa dipungkiri kita terlalu malas untuk mengkaji dan menuliskannya kembali menurut hasil kajian kita, kita lebih senang mempelajari hasil kajian orang lain tanpa menuliskannya kembali untuk melestarikannya. Dampaknya adalah tidak ada lagi kelanjutan dari kajian yang kita pelajari, semua buku menjadi usang tanpa ada yang memperbarui –untuk saat ini mash ada yang peduli- karena budaya literasi sudah memudar dikalangan intelektual (katanya) dan di kalangan mahasiswa selaku kontrol sosial (katanya juga).

Kita bisa lihat fenomena saat ini dimana orang-orang mulai bosan dan bahkan malu untuk menulis apalagi belajar untuk menulis demi membudayakan kembali budaya literasi. Kita teerkadang malu dengan cemohan orang-orang sekitar ketika kita meliteralisasikan pemikiran sastra kita, kita di cap alay, gak punya kerjaan, dan sejenisnya. Namun tak bisa dipungkiri, ini menjadi salah satu dampak raun moderenitas dimana orang-orang mulai mencari eksistensinya dalam sebuah kelompok dengan menggunakan segala macam cara, seperti mengikuti keinginan dan ketidaksukaan mereka, padahal bukannya kita harus hidup bebas tanpa paksaan ? Ketika kita membuat sajak ataupun puisi biarkanlah mereka menggonggong dengan gong-gongan alay karena sesungguhnya mereka telah kehilangan nilai kesastraaan dalam diri mereka.

Budaya literasi ini kita harus terus kembangkan karena ini adalah salah satu peninggalan budaya sejak zaman dahulu kala –bahkan zaman para nabi- yang telah di bersihkan racunnya dari zaman ke zaman jadi kita hanya tinggal melestarikannya saja. Namun bukan berarti juga kita tidak boleh dan tidak dapat memoderenisasikan sesuatu di zaman kita. Kita hanya perlu mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dimoderenisasi dan hal apa yang tidak perlu. Hal-hal yang perlu dimoderenisasi adalah seperti teknologi dan kecanggihan kita dalam menggunakannya, namun kita harus pula menyaring virus yang dibawanya agar sifat zoon politicon kita tetap hidup dan menekan sifat homo homini lupus kita. Tak bisa dipungkiri kita saat ini harus bisa menemukan teknologi terbarukan dan harus pula paham cara menggunakannya agar kita tidak ditelan zaman. Adapun hal-hal yang harusnya dibiarkan saja tanpa harus dilakukan moderenisasi  selain budaya literasi adalah sifat kebaikan manusia serta nilai-nilai baik yang telah diterapkan dari dahulu zaman-zaman sebelumnya, karena hal ini telah –harusnya- disharing oleh para pendahulu kita setiap racunnya jadi kita tinggal menerapkan dan memilah saja mana yang patut dan mana yang tidak patut digunakan.

Diakhir kata ini saya selaku penulis hanya berpesan untuk dirisendiri dan yang lainnya bahwa jangan pernah malu untuk menulis apapun itu yang ingin kau tulis selama tidak keluar dari batasan-batasan yang ada disekitar kita, mari kita sama-sama hidupkan kembali budaya literasi yang telah ditinggalkan para pendahulu kita kepada kita, agar nantinya para penerus bisa memahami kegelisahan ataupun memahami kecintaan dan kisah yang ada di zaman kita ini. 

Selengkapnya...

Rabu, 21 Oktober 2015

Pecinta Malam

Oleh : B.S.H.
Dialah sang nocturnal,
bahagia akan malamnya, sengsara di siang harinya.
Tak luput dari matanya, setiap indahnya sang malam,
karna dia begitu terpikat akan gelapnya.

Dialah sang nocturnal
tulus dirinya menemani sang malam,
yang tiada tipu daya akan ketulusannya
bersama malam, dia hadapi kesunyian dunia

Dia tak pernah terpikat akan silau mentari, dia menolaknya !
Dia dibenci oleh para penikmat mentari,
ditakuti oleh penikmat pagi,
namun dia tetap berdiri,
berdiri ditengah malam yang sunyi.

Takut akan cahaya mentari ? itulah dia.
tak pernah terhangatkan oleh cahaya mentari ? dia pun sama.
namun dia mensyukuri
sebagai makhluk pecinta malam hari
dan berteman dengan sunyi.
Kasihan, Bantul, 21 Oktober 2015
Selengkapnya...

Sabtu, 10 Oktober 2015

Radikalisme itu (bukan) Awal Terorisme

oleh : B.S.H.
Bukan bermaksud untuk memprofokasi ataupun membela kelompok dogma tertentu, namun dewasa ini kita sering sekali mendengar isu tentang terorisme. Terorisme itu sendiri adalah serangkaian tindakan meneror dengan menggunakan kekerasan ataupun ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror -menimbulkan rasa takut- terhadap orang secara keseluruhan atau secara masal.

Namun pada saat ini pengertian dari terorisme ini seringkali dikaitkan dengan radikalisme. Media dan pemerintahpun berbondong-bondong mengampayekan bahwa radikalisme adalah awal dari paham terorisme. Entah dari mana mereka mendapat pengertian seperti itu. Tetapi melalui media yang kita baca dan kita dengarkan kita seakan mengiakan bahwa radikalisme itu adalah awal dari seseorng untuk menajadi teroris.

Kita harusnya menela’ah kembali arti sesunggunhnya dari kata aradikalisme ini. Radikalisme berawal dari bahasa yunani yaitu radix yang artinya akar dan isme yang artinya paham atau pemahaman. Radikalisme itu sendiri adalah sebuah pemahaman yang mengakar. Jadi apa salahnya jia kita mempunyai pemahaman yang mengakar ataupun mempelajari sesuatu secara mengakar (mendalam) ? Entah siapa yang menciptakan opini bahwa radikalisme adalah hal yang buruk karena akan membentuk terorisme. Tapi jika kita melihat saat ini bahwa siapapun yang menciptakan opini global ini tentunya mempuyao tujuan yang jelas bahwa dia ingin masyarakat internasional beranggapan bahwa salah satu dogma Agama adalah sumber dari terorisme. Dogama tersebut adalah Islam. Kita bisa melihat secara langsung bagaimana pendeskriminasian agama ini terjadi ketika orang yang berkumis asik dengan percobaan percobaannya dengan hal yang berbahaya maka mereka akan mengatakan mereka sedang bereksperimen, tetapi ketika orang yang berjenggot melakukan hal yang sama maka mereka akan menarik kesimpulan bahwa orang itu merencanakan sesuatu yang jahat dengan cara membuat sebuah bom. Ini adalah sungguh pembodohan yang nyata serta diskriminasi yang nyata karena umat islamlah yang berjenggot tersebut.

Mungkin kawan-kawan sekalian bertanya-tanya mengapa demikian, mengapa Islam dengan radikalisme selalu dikaitkan, ketahuilah sesungguhnya Islam itu sendiri mengajarkan radikalisme, Islam mengajarkan pemeluknya untuk mempelajari sesuatu secara mendalam tidak sepotong-sepotong apalagi hanya luarnya saja. Karena dengan pemahaman yang mendalam kita bisa mengerti akan suatu hal dan kita bisa mengerti apa sebenarnya tujuan kita diciptakan di dunia ini. Dengan pemahaman yang radix ini pulalah kita bisa terlepas dari hal mendaku dan mengakui kebenaran secara sepihak atau mungkin secara kebenaran logika kita, padahal kita tau bahwa lokiga kita itu terbatas dan belum bisa mencapai sesuatu yang berada atau bahkan tak bisa di jangkau oleh ranah logika.

Masih hangat dalam fikiran kita kasus di Tolikara, Papua di mana umat islam harus kehilangan masjid dan ketenangan saat melaksanakan sholat idul fitri, tapi apa itu dikatakan tindakan terorisme ? Tidak ! itu dikatakan sebagai tindakan kejahatan biasa, bukan sebagai terorisme apalagi mengaitkan dengan pemahaman agama. Selain itu ada juga kasus pembantaian seluruh desa umat muslim oleh salah satu kelompok agama di Sulawesi Barat yang sama tidak dikatakan sebagai tindakan terorisme bahkan lebih parah tidak ada satupun media yang meliput ataupun pemerintah yang memperhatikan hal ini. Bahkan dikatakan –entah benar atau tidak- polisi malah membela kelompok yang melakukan pembantaian tersebut dengan cara menghentikan kelompok bantuan untuk umat muslim yang di bantai tersebut. Jika demikan siapa yang pantas dikatakan sebagai teroris ? apakah mereka yang berlaku radikal  ? mempelajari agama secara mendalam ? atau mereka yang memahami agama hanya setengah-setengah ? menurut penulis sendiri mereka yang pantas untuk dikatakan sebagai teroris adalah mereka yang mempelajari agama secara setengah-setengah. Hal ini dikarenankan seorangyang ahli agama harusnya lebih memperhatikan keberagaman dan ketentraman umat karena tidak ada satu agama pun yang mengajarkan akan kekerasan –selama agama itu bukan aliran sesat.

Entah harus menyalahkan siapa tentang sesat fikir mengenai kata radikal ini, karena seperti ada sekelompok orang yang ingin menjatuhkan citra orang-orang yang agamis agar tidak mempelajari agama secara mendalam. Tapi harusnya media sebagai pemberi informasi serta pembentuk opini publik cermat dalam menggunakan kata-katanya dalam setiap pemberitaan jangan sampai mengadakan pemikiran yang mengakibatkan sesat fikir bagi setiap orang.

Begitupun pemerintah harusnya lebih cermat dalam memberikan argumen di depan publik, mereka yang dianggap sebagai reprsentasi dari rakyat harusnya mencerdaskan rakyat bukan malah membodohi rakyat dengan cara melanggar rakyat untuk mempelajari sesuatu secara radikal.Ketahuilah bangsa yang maju adalah bangsa yang di isi oleh orang-orang yang pandai akan keahlihannya dan orang-orang tersebut hanya akan lahir jika dia mempelajari keahliannya secara radikal bukan setengah-setengah.

Jika terorisme akarnya adalah radikalisme maka orang-orang yang dikatakan “teroris” itu lebih pintar dari orang bodoh yang mengatakan akar teroris adalah radikalisme. 

Selengkapnya...

Senin, 05 Oktober 2015

Tuhan Maafkan Aku Menggadaikan Mu

Oleh : B.S.H.
Sungguh cinta telah membuatku buta, buta akan dunia dan buta akan akhirat. Segalanya menjadi abu-abu, tidak ada hitam, putih, merah, biru, jingga, dan warna yang lainnya dalam pandangan mataku. Aku menjadi seperti anjing yang hanya bisa melihat warna abu-abu tanpa bisa melihat warna lainnya, semuanya serba tabu. Aku bahkan tak kenal dan tak ingat siapa aku dan apa tujuanku, semua hanya karna sebuah nama yang terpaut dalam lubuk hati, sebuah nama yang menjadi tujuan dari hidup, sebuah nama yang sederhana namun begitu berarti, nama itu telah tertanam dan telah mengambil alih jiwaku.
Sungguh dia telah menyihirku, sihir yang begitu hebat, sampai-sampai aku tak bisa melihat warna lain dan untuk berfikir yang lain. Cita-citaku pun hanya untuknya, sekolahpun aku hanya ingin bertemu dengannya, setiap hariku memikirkan dirinya. Sempat temanku  memperingati akan hal itu namun aku tidak pernah peduli. Karna aku telak diperbudak oleh entitas yang mereka sebut cinta.
Sempat salah satu guru di sekolah memperingatiku akan apa yang aku lakukan serta hubungan ku dengannya yang aku jalani, namun apa yang aku lakukan ? Aku mengabaikan hal itu, aku melokalisasi Tuhan dalam hal ini, Tuhan bagiku hanya ketika berada di bulan puasa ataupun di masjid tempatku bersujud untuk mengagungkannya, dalam harinya aku begitu sekuler, karena aku menggadaikan Tuhan dan berharap bisa menebusnya kembali di masa tuaku. Begitupun dengan dia, dia telah melokalisasi Tuhan kepercayaanya, dia menempatkan Tuhan di tempat dia bersembahyang  tapi ketika bersamaku diapun menjadi sekuler, tiada Tuhan diantara kita, karena kita adalah budak entitas cinta.
Bisa dikatakan (mungkin) aku telah menggadaikan Tuhan dalam hal ini. namun aku menggadaikan Tuhan tidak tanpa alasan, aku menggadaikan Tuhan dengan harapan aku bisa menebusNya kembali saat dia menjadi sah secara formal denganku, tapi dengan caraku sendiri. Aku melakukan berbagai cara, sampai cara setan pun aku coba namun aku beruntung aku tidak menjadi setan itu sendiri karena sebuah janjiku padanya yang akan tetap menjaga keutuhan kehormatannya sampai hari dimana dia mengiklaskannya atau khilaf memberikannya, aku menanti saat itu.
Waktu demi waktu kita lalui, masa demi masa kita lewati, sampai pada masa ketika aku dan kau sadar bahwa kita sudah cukup lama menggadaikan Tuhan kepercayaan kita masing-masing, dan mungkin Tuhan telah murka kepada kita karena telah melokalisasinya hanya pada tempat ibadah dan waktu khusus masing-masing. Kita pun terpisahkan sebagai simbolisasi kemurkaan Tuhan akibat perbuatan kita, dan sebagai azabNya kepadaku aku diberi hukuman meratapi nasib karena kehancuran hati akibat kepergianmu. Lebih dari itu aku harus memikirkan untuk menebus kembali apa yang aku gadaikan, yaitu Tuhanku, serta menghapus pelokalisasian Tuhan yang aku buat selamu ini. 
Tidak hanya aku, kau pun sama, kau juga merasakan pedihnya dan malunya karma buruk yang menimpamu akibat keburukanmu, namun di satu sisi mungkin itu baik bagimu dan bagiku karena kau telah ada yang menjaga dan membahagiakanmu dan akupun bisa kembali fokus di ajaran Fitrahku sebagai hamba yang terus selalu menempatkan Tuhannya dalam kehidupanya.

Ketauhilah, ketika kau “menggadaikan” Tuhanmu kau harus tau konsekuensi buruk yang akan menimpamu serta kau juga harus pertimbangkan seberapa banyak waktu yang kau jadikan jaminan serta seberapa banyak waktu yang kau punya untuk “menebusNya”.
Selengkapnya...

Sabtu, 03 Oktober 2015

Teruntuk Adikku

Oleh : B.S.H.

Basri S. Hardana, kau memang masih kecil, pengalamanmu masihlah kecil, umur dan pengetahuan duniamu pun sama. Tapi jiwa dan kesabaranmu begitu besar, melebihi jiwa dan kesabaran orang-orang yang merasa besar. (B.S.H.) 

Basri S. HardanaMaafkan kakakmu ini yang belum bisa membahagiakanmu, seperti kakakmu yang satunya. Aku hanya bisa marah-marah kepadamu, selalu menyuruhmu melakukan ini dan itu, selalu berkata hal yang mungkin belum saatnya aku katakan sampai mungkin kau membenciku. Tapi ketahuilah itu semua aku lakukan untuk menjaga dan melindungimu. Bukannya aku tak ingin memanjakanmu, tentu aku sangat inginkan itu, tpi aku harus mengajarkanmu bagaimana kehidupan sosial itu berjalan dan bagaimana susah senangnya kehidupan itu sendiri. Aku hanya ingin mengajarkan itu agar kau tak menjadi sepertiku.
Aku tau kau seudah besar, kau sudah mulai masuk ke dunia Sekolah Menengah Pertama, kau pantas memilih jalan ini dan jalan itu untuk kebaikan dan kepentingan hidupmu sendiri. Tapi apa kau tau resiko dari jalan yang kau ambil itu ? apakah kau sudah mengerti tentang bagaimana cara berfikir kedepan ? apakah kau sudah memikirkan bagaimana kau menghadapi setiap ejekan nantinya karena pilihan yang kau pilih ? jika sudah aku sangatlah bangga padamu. Namu bagiku kau tetap adik kecilku yang masih kecil, bukan bermaksud merendahkan pilihanmu atau ikut campur urusanmu tapi aku hanya ingin kau mempertimbangkan itu, aku tak ingin kau salah jalan nantinya, aku tak ingin kau malu di depan teman-temanmu karena pilihanmu sendiri.
Wahai adik, kehidupan ini sangatlah keras, aku sadar kau sudah mengetahuinya, kau sering leihat ibu dan ayah kita “berdebat” karena hal ini dan itu, bahkan kau merasakan pahitnya orang yang ktia sebut ayah di waktu yang masih sangat muda, kehilangan sosok yang selalu memanjakanmu, selalu menuruti dan melindungimu, sosok yang selalu memanggilmu bos, aku tau kau kehilangan itu, aku sadar kau pasti inign menangis atau bahkan kau telah menangis dalam hatimu, karena akupun menangis tapi kau tetap tegar dan tabah hanya karena ibu kita. Kau telah memberikan senyuman dan ketulusanmu untuk menghiburnya di saat aku yang sebagai kakakmu tidak bisa menghiburnya bahkan tidak bersamanya setiap saat, tapi kau selalu dan terus menemaninya selama ini.
Umurmu masihlah sangit kecil, pengalamanmu masihlah sangat sedikit, tapi pengorbanan dan ketulusanmu adalah sangat besar dan mungkin lebih besar dari apa yang aku dan kakak kita punya. Kau rela menanggalkan sebagian masa kecilmu hanya untuk membantu ibu di rumah, bahkan kau sangat hebat dalam menabung sehingga aku bisa menggunakan tabunganmu melalui ibu untukku kuliah.
Maafkan aku, aku memang mungkin tak pantas menjadi kakakmu, aku memang belumlah bisa membahagiakanmu seperti apa yang telah kakak kita lakukan padamu. Aku hanya ingin kau tau, aku ingin menjadi pengganti ayah kita yang telah pergi, aku ingin melindungi dan membahagiakanmu juga, aku ingin berada disampingmu saat kau ingin menentukan pilihanmu untuk saat ini, aku ingin berada di sampingmu saat kau sedang berada dalam masalah, bahkan aku rela terlibat dalam masalah itu jika kau memang memerlukannya.
Aku ingin menebus semua masa kecilmu, aku tak ingin melihat kau bekerja keras lagi, cukuplah kita sebagai kakakmu yang bekerja untuk menyekolahkanmu kelak hingga jenjang yang kau inginkan. Aku hanya ingin menjadi baju zirahmu untuk melindungimu dari segala keburukan dunia ini.
Mungkin kau belum bisa atau mungkin tak bisa membaca tulisan ini, tapi aku hanya ingin kau tau tentang itu, aku ingin membahagiakanmu dan Ibu kita, agar tak pernah lagi memikirkan tetang kebutuhan sehari-hari. Aku titipkan ibu kepadamu untuk beberapa tahun lagi, aku akan segera menyelesaikan urusanku disini dan mencari nafkah untuk keluarga kita. Maafkan aku, aku ingin kau memaklumi kekhawatiranku karena aku tak bisa melihatmu tumbuh secara langsung. Sekali lagi, maafkan aku.
Selengkapnya...
 

#About

Hai, terimakasih telah berkunjung. Saya adalah bongkahan kesederhanaan yang diberi nama Bagus Setiawan Hardono. Berasal dari desa Muntoi Timur, Bolaang Mongondow, Sulawasi Utara

#Blogroll


#Blogger news