Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 16 Februari 2016

Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Oleh : B.S.H.

A.  Sejarah Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Membicarakan Mahkamah Konstitusi atau yang sering di sebut MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Terdapat beberapa momen dari jelajah histories yang patut dicermati antara lain ; kasus Madison vs Marbury di AS dan gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI.
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi, di Amerika Serikat dilakukan oleh Mahkamah Agung, dimulai sejak terjadinya kasus Marbury versus Madison (1803). Mahkamah Agung Amerika Serikat yang waktu itu di ketuai oleh Hakim Agung John Marshall memutus sengketa yang pada dasarnya bukanlah apa yang dimohonkan untuk diputus oleh kewenangannnya sebagai ketua Mahkamah Agung.
Para penggugat (William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan Willia Harper) memohonkan agar ketua Mahkamah Agung sebagai kewenangannnya memerintahkan pemerintah mengeluarkan write of mandamus[1] dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan mereka. Tetapi Mahkamah Agung dalam putusannnya membenarkan bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka. Namun Mahkamah Agung sendiri menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat yang dimaksud. Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat, yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan write of mandamus sebagaimana ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena ketentuan Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat. Atas dasar penafsiran terhadap konstitusi-lah perkara ini diputus oleh John Marshall. Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court.
Momen yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau yang disebut BPUPKI. Mohammad Yamin menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap Undang-Undang. Mohammad Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi wewenang “membanding” undang-undang. Namun usulannya disanggah oleh Soepomo dengan empat alasan bahwa (i) konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide itu tidak jadi diadopsi dalam UUD 1945.
Tetapi setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan hukum. Gagasan Mohammad Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret-April tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 serta Pasal 7B pada 9 November 2001.
B.  Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Jika kita melihat sejarah terbentuknya atau munculnya ide pembetukan Mahkamah Konstitusi atau yang sering disebut MK sebagaimana telah dikemukakan diatas, utamanya tentang Mohammad Yamin yang memperjuangkan terbentuknya MK serta berbagai elemen lain, maka bukan tanpa alasan mereka ingin Mahkamah Konstitusi dibentuk. Hal ini karena Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik[2], juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Apabila dilihat lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu, yauti sebagai berikut.
1.    Sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang.
2.  Pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
3.   Kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.
Sedangkan menurut Prof. Jimly Asshiddiq, dengan adanya perubahan dalam UUD 1945 seperti diatas, prinsip negara hukum yang dianut dipertegas dengan (a) diaturnya mekanisme penegakan hukum dimulai  dari  penegakan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Sebagai akibat perubahan itu, (b) dipandang perlu untuk diadakan mekanisme guna memutus sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, (c) perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip majority rule. Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu, (d) juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat diselesaikan malalui proses peradilan yang biasa,  seperti  sengketa  hasil  pemilu  dan  tuntutan  pembubaran  sesuatu  partai  politik. Perkara-perakara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan warganegara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi- fungsi penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik juga dikaitkan dengan kewenangan MK.
Berdasarkan alasan diataslah maka indonesia perlu kiranya pada saat itu membentuk peradilan yang khusus dan berwenang menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan undang-undang, seperti menguji undang-undang terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan sengketa hasil pemilihan umum, dan memutuskan  pembubaran  partai  politik.


Sumber Tulisan:
Jimly Asshiddiqie. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press. 2005.



[1] Write of mandamus merupakan suatu alas dasar bagi seseorang untuk menjalankan tugas yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan padanya. (Jimly Asshiddiq : 2005, hal. 18-21)
[2] Nilai semantik menunjukkan bahwa konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik.
Selengkapnya...
 

#About

Hai, terimakasih telah berkunjung. Saya adalah bongkahan kesederhanaan yang diberi nama Bagus Setiawan Hardono. Berasal dari desa Muntoi Timur, Bolaang Mongondow, Sulawasi Utara

#Blogroll


#Blogger news