Ini
adalah cerita tentang seorang manusia yang mencoba mencari jawaban atas semua
hal yang ia pertanyakan untuk dirinya sendiri. Disaat kesendiriannya ia selalu
membuat pertanyaan dan selalu berusaha menemukan jawaban dari pertanyaan
tersebut. Pertanyaa itupun mulai meliputi hal yang biasa sampai yang tidak
biasa, hal yang sepele sampai hal yang cukup berat, dan meliputi hal yang
mungkin bahkan sampai hal yang tidak mungkin. Semunya tidak luput dari
pertanyaan yang keluar dari fikiran anak tersebut.
Terkadang
orang menyebut anak itu sebagai orang yang tukang bertanya, orang yang suka
mencari tau, orang yang bodoh (akibat dari suka bertanya), bahkan mungkin ada
yang menganggap anak itu sudah keluar dari batas kewarasan pikirannya (gila).
Tapi apapun yang orang lain kata ia selalu percaya pada dirinya dan selalu
berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi jawaban atas pertanyaannya. Samapai
ketika ia bertanya pada diri sendiri tentang kebenaran dari teman, cinta, dan
sahabat. Pertanyaan yang keluar dari pemikirannya itu bisa terbilang cukup
sederhana yaitu mencari kebenaran tentang arti teman, cinta dan sahabat. Tapi
sampai sekarangpun ia tidak menemukan jawaban dari pertanyaan yang dia ajukan
ada dirinya sendiri itu.
Pada
awalnya, yaitu pada masa emas dari anak tersebut, yaitu ketika anak itu berada
pada tahap memasuki gerbang sekolah pertama atas dia masih percaya akan arti
ketiga kata tersebut secara umum. Tapi sebuah insiden yang membuat dia
mempertanyakan hakekat dari ketiga kata tersebut muncul saat itu juga.
Semua
berawal pada saat keluarga anak itu mulai berantakan, saat sang ayah yang ia
anggap sebagai pahlawan dan pembimbingnya tiba-tiba berubah menjadi orang yang
dibencinya saat itu juga. Seketika itu hilanglah semua anggapan dan arti teman,
cinta, dan sahabat baginya. Seketika itu dia kehilangan teman, seketika itu dia
tak mempercayai yang namanya cinta, dan seketika itu pula tak ada sahabat yang
berarti sahabat dimatanya serta disaat itupula presepsinya berubah tentang ketiga
kata tersebut.
Semuanya
berubah pada saat itu. Dan mungkin entah beruntung atau tidak, akibat dari
peristiwa itupulalah yang mebuat anak tersebut menjadi kuat dan selalu mencari
apapun yan dia inginkan secra sendiri. Ia tak pernah percaya pada orang lain.
Pencariannyapun
berlanjut ketingkatan selanjutnya, yaitu ketika ia berada di sekolah menengah
atas. Dia masuk di sekolah itu tanpa ada seorangpun yang mengenali dan
dikenalinya. Sekolah itu benar-benar adalah suasana baru untuknya dan merupakan
tempat penelitian yang cocok untuk semua pertanyaan yang telah dibawanya.
Namun
semunya bertolak belakang dari apa yang dipikirkannya, ia tak pernah menemukan
arti dari ketiga kata tersebut selama setahun berada disana. Ia masih terbayang
akan kisah kelam hidupnya dan selalu memasang wajah yang senantiasa bergembira
di hadapan orang lain. Karena jika tidak demikian dia menganggap orang lain tak
akan mendekatinya. Pada saat itu dia menganggap teman hanya sebuah kata yang
bisa menyatukan orang yang mempunyai “kebahagiaan” dalam hidupnya maka dari itu
dia selalu tampak “bahagia” di setiap harinya tanpa ada seorangpun yang
mengetahui “siapa” dia sebenarnya.
Tahun
keduanya ia mulai menemukan arti dari pertemanan, dan itu sangat berbeda dari
apa yang dia banyangkan. Keseimpulan arti teman yang ia dapat pada tahun
keduasekolahnya ini adalah bahwa teman itu bukanlah mereka yang hanya berteman
dengan orang yang mempunyai “kebahagiaan” saja, tapi teman adalah mereka yang
bisa saling percaya diri mengatakan “dia
adalah temanku, aku mengenalnya seperti ia mengenalku, walaupun aku mungkin
atau dia mungkin telah melupakan namaku, tapi aku mengingat wajahnya seperti ia
mengingat wajahku”. Itulah arti teman yang dia simpulkan pada saat itu. Akan
tetapi masih terdapat dua pertanyaan yang menghatuinya disetiap malamnya, yaitu
pertanyaan mengenai kebenaran cinta dan kebenaran arti sahabat.
Pada
awalnya anak itu menarik sebuah asumsi sementara bahwa cinta adalah ketika kau melakukan hal bodoh dan orang
yang kau cintai mempintarkanmu, katika kepintaranmu kau kesampingkan untuk
membuat dia lebih unggul darimu, dan ketika kau membenarkan apapun yang dia
katakana walalapun itu adalah kebohongan. Tapi semunya hanyalah asumsi
sementara. Diapun tidak begitu yakin dengan asumsi yang deberikannya pada
dirinya sendiri saat itu. Dan ternyata benar bahwa asumsinya itu salah ketika
ia memasuki tahun ketiga masa sekolahnya. Semua asumsi yang dia berikan kepada
dirinya sendiri itu seketika sirna seakan dihapuskan oleh sebuah badai.
Namun
entah musibah ataupun anugerah, dilain pihak dia menemukan arti sahabat saat
ketika asumsinya mengenai cinta itu hilang. Dia merasakan hal yang berbeda
ketika ia berada di samping teman-temannya, dan dia berfikir “ah, mungkin inilah yang dinamakan
sahabat”. Ia beranggapan bahwa sahabat
adalah ketika ia melakukan hal bodoh
sahabatnya membantunya keluar dari hal bodoh tersebut atau ikut melakukan hal
yang sama sampai keduanya keluar dari kebodohan yang mereka lakukan. Sahabat
tidak harus selalu bersama, tapi sahabat adalah ketika tidak ada jarak yang
terbentuk setelah sekian lama. Mereka senantiasa melakukan hal yang sama.
Itulah sahabat menurut dia.
Sejenak
dia melupakan pencariannya mengenai hakekat dari pertanyaan yang diajukannya
mengenai cinta. Sampai ketiaka ia mnyelesaikan sekolahnya dan melanjutkan
ketingkatan yang lebih tinggi.
Pada
tingakatan ini dia mulai serius untuk menekuni
dan mengejar apa yang telah menjadi cita-citanya sejak dulu, dengan
harapan dia melupakan pertanyaan yang diajukannya pada masa dulu. Tapi apa
daya, sekuat dan seberusaha apapun dia melakukannya pertanyaant itu terus
menerus menghantuinya pada setiap malamnya.
Namun
untuk membuat batinnya tenang dia berasumsi bahwa cinta itu tidaklah nyata. Cinta itu hanyalah sebuah ilusi yang datang
kepada orang yang mengejar obesesinya, atau bisa dikatakan cinta itu hanyalah
sebuah obsesi belaka dari setiap manusia. Mengapa tidak menurut apa yang dia
lihat dan dia rasakan, setiap orang yang
mengatakan mencintai hanyalah sebatas sampai mengejar dan mendapatkan
orang yang dikatakan dicintainya itu,
setelah itu terjadi pertengkaran dan hilang pulalah cintanya. Jika tidak
terjadi pertengkaran maka bahagialah salah satu atau kedua belah pihak. Lalu
apa bedanya dengan obsesi ? ketika seseorang mengejar apa yang menjadi
obsesinya dia selalu berusaha untuk mendapatkannya dan ketika ia mendapatkannya
ia akan berusaha menjaganya, ketika ia mulai bosan maka ia akan menggantikan
dengan obsesbi yang lain atau akan muncul obsesi baru. Lalu masihkah kita mengatakan
cinta walapun pada dasarnya itu hanyalah sebuah obsesi ?
Tapi
itupun hanyalah sebatas asumsi, dia sendiripun tidak 100% yakin dan membearkan
asumsinya tersebut. tapi untuk saat ini asumsinya itulah yang mencegah dia
melakuka hal bodoh dan melenceng dari jalur yang ia sudah bentuk pada awalnya.
Harapan
yang ia selalu harapkan adalah dia akan menemukan jawaban yang pasti dari
pertanyaan terkhirnya itu. Entah jawaban datang dari dirinya sendiri, dari
temannya, dari sahabat maupun keluarganya, dan bahkan mungkin dari orang yang
akan bersamaya suatu saat nanti.