FRANCHISE
SEBAGAI PERJANJIAN JENIS BARU
SEBAGAI PERJANJIAN JENIS BARU
Disusun Sebagai Tugas Kuliah
Mata Kuliah Hukum Perjanjian
Dosen Pengampu : Prihati Yuniarlin, S.H., M.Hum.
Disusun Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb,
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan anugerah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Perjanjian ini yang berjudul “Franchise Sebagai Perjanjian Jenis Baru”.
Makalah ini disusun berdasarkan pergulatan pemikiran dan masukan dari semua anggota kelompok dengan referensi dari beberapa buku, serta berita di media massa.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi setiap pembacanya, namun demikian tetap disadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, tidak terlepas dari banyak kekurangan bahkan kesalahan. Sehubungan dengan hal tersebut kami mengharapkan kritik dan saran agar menjadi bahan revisi yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini serta makalah-makalah selanjutnya dan tidak lupa saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 17 Desember 2014
(Tim Penyusun)
BAB 1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
PERHATIAN !! Tujuan dari postingan ini adalah semata-mata untuk membantu kawan-kawan yang sedang mengerjakan tugas/bahan pembelajaran di sekolah ataupun kuliah, tolong pergunakan dengan baik jangan menjadi generasi BODOH yang hanya bisa mengcopy-paste tulisan orang lain. Bacalah dengan seksama dan bandingkan dengan yang lain. Mohon maaf, penulis hanya tidak mau menciptakan generasi BODOH tersebut dan juga penulis hanya seorang manusia yang bisa saja melakukan kesalahan. Terimakasih, semoga bermanfaat. (B.S.H.)
1.1. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai segala macam jenis berjanjian baik perjanjian tertulis maupun tidak tertulis, perjanjian bernama maupun tidak bernama, dan sebagainya. Kita harus sadari bahwa dalam kehidupan kita tidak luput dari perjanjian. Bahkan dalam hal kecil saja seperti jual beli di pasar atau supermarket kita sudah melaksnakan perjanjian atau kontrak.
Dalam tahun terkahir ini, konsep bisnis franchise (waralaba) akhir-akhir ini telah menjadi salah satu perjanjian yang populer yang memberi warna baru dalam dinamika perekonomian Indonesia. Franchise dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kegiatan perekonomian dan memberikan kesempatan kepada golongan ekonomi lemah untuk berusaha. Hal ini berarti Franchise dapat memberikan kesempatan kerja, pemerataan dan juga menciptakan lapangan kerja masyarakat.
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2007 tentang waralaba sebagaimana yang didukung dengan aturan pelaksana Peraturan Menteri Perdagangan No 3/M-DAG/PER/8/2008 tentang penyelengggaraan waralaba menyatakan bahwa yang dimaksud dengan waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap system bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba[1].
Orang perseorangan atau badan usaha yyang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya. Kepada penerima waralaba disebut dengan pemberi waralaba (Franchisor) sedangkan orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba umtuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba disebut dengan penerima waralaba (Franchisee).
Dari rumusan yang diberikan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa franchise merupakan suatu perikatan yang tunduk pada ketentuan umum mengenai perikatan yang diatur dalam Kintab Undang-Undang Hukum Perdata. Disamping itu franchise didalam melibatkan hak pemanfaatan dan atau penggunaan hak atas intelektual atau penemuan atau cirri khas usaha, yang dimaksudkan dengan hak atas intelektual meliputi antara lain merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang dan paten, dan yang dimaksudkan dengan penemuan atau cirri khas usaha yaitu system manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemiliknya.
Dalam prakteknya seringkali keberadaan franchise atau penerima waralaba dalam posisi yang lemah dibandingkan pihak franchisor atau pemberi waralaba. Dalam hal ini pihak franchisee tidak mempunyai banyak pilihan untuk menyetujui perumusan klausula dalam perjanjian franchise. Oleh karena itu, seringkali pihak franchisee dalam posisi yang tidak berimbang dalam perjanjian tersebut sehingga kurang dapat memberikan perlindungan hukum.
Maka untuk mengkerucutkan pembahasan dalam makalah kami ini, kami penulis mengajukan rumusan permasalahan sebagai berikut.
a. Apakah kekurangan dan kelebihan dari franchise?
b. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap franchisee dalam perjanjian franchise (waralaba) di Indonesia?
BAB 2
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Franchise/Waralaba
Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba[2].
Menurut bahasa franchise berasal dari bahasa Prancis yaitu franch (bebas), fancher (membebaskan, memberikan hak istimewa), dan dalam bahasa Indonesia Franchis adalah waralaba. Waralaba itu sendiri adalah berasal dari kata wara yang artinya lebih dan laba yang artinya untung. Jadi Franchise/waralaba dalam bahasa Indonesia adalah usaha yang memberikan keuntungan lebih atau istimewa.
Sedangkan menurut para ahli franchise adalah sebagai sebuah lisensi merek dari pemilik yang mengijinkan orang lain untuk menjual produk atau service atas nama merek tersebut[3].
Dalam pengertian yang demikian dapat kita Tarik suatu kesimpulan bahwa seorang penerima waralaba juga menjalankan usahanya sendiri tetapi dengan mempergunakan merek dagang atau merek jasa serta dengan memanfaatkan metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba. Kewajiban untuk mempergunakan metode dan tata cara atau prosdur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba membawa akibat lebih lanjut bahwa suatu usaha waralaba merupakan usaha yang mandiri yang tidak mungkin digabungkan dengan kegiatan usaha lainnya (milik penerima waralaba)[4].
2.2. Kelebihan dan Kekurangan Franchise
Dalam bukunya yang berjudul Franchising the Most Pratical and Excelent Way of Suceeding, Bambang N. Rachmadi menyatakan bahwa Franchise sebagai kebijakan, strategi, dan pola untuk mengembangkan Usaha Kecil Mengah (UKM) sudah lama dikembangkan oleh negara-negara maju. Hal ini dikarenakan franchise mempunyai banyak kelebihan yaitu secara organisasi fanchise mempresentasikan sebuah aliansi kolaboratif yang mana keberhasilannya tergantung pada kerjasama antar franchisor[5] dan franchise[6].
Selain itu, waralaba juga dapat dipergunakan sebagai model pengembangan usaha ke pasar internasional utnuk melakukan investasi dan memandukan keuntungan lokal dengan keuntungan global. Disamping fanchise mempunyai kelebihan juga mempunyai kelemahan dan keterbatasan yang menimbulkan kerugian.
Dalam Small Business Management, Justin G. Longeneek, Charlos W. Moore dan J. William Petty mengidentifikasi ada tiga kekurangan franchise yaitu :
2.2.1. Biaya yang berhubungan dengan franchise yang seringkali dituntut sangat tinggi oleh franchisor.
2.2.2. Pembatasan operasi yang membatasi kontrak franchise seperti membatasi daerah penjualan.
2.2.3. Hilangnya kebebasan sebagai akibat dibawah pengendalian langsung dari franchisor.
2.3. Perlindungan Hukum Bagi Pihak Franchise dalam Kontrak Franchise
Berbagai analisis yang menyangkut materi perjanjian diatas yaitu manajemen, pajak, royalti[7] serta terkait penyelesaian sengketa akan memunculkan perhatian khusus bagi campur tangan negara atas lalu lintas franchising terutama aspek perlindungan hukum terhadap franchise, persoalan yang muncul terhadap bisnis franchise yang ada selama ini tidak terlepas pula oleh aturan atau ketentuan yang secara tegas mengatur bisnis franchise.
Pengaturan franchising melalui campur tangan negara bukan berarti bersebrangan dengan prinsip-prinsip pasar bebas atau perdagangan bebas, namun lebih tertuju pada penciptaan iklim bisnis franchise yang fair dan transparan, keseimbangan hak dan kewajiban para pihak merupakan dasar bagi pengaturan franchising yang telah begitu marak di Indonesia. Disamping itu campur tangan oleh negara pada prisipnya dilakukan sebagai upaya untuk mendinamisasikan perekonomian kelas menengah ke bawah sebagai mitra bisnis dengan perusahaan franchise, bukan dalam pengertian campur tangan yang bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak namun campur tangan yang dimaksud lebih ditujukan pada pembentukan kebijaksanaan bagi perjanjian franchise yang dibuat para pihak.
Keseimbangan kedudukan para pihak perlu diperhatikan untuk menghindari terjadinya monopoli bisnis oleh pihak tertentu yang pada akhirnya dapat menyebabkan market monopoly. Namun dalam praktek masih didapati perjanjian waralaba yang tidak didaftarkan padahal ini sebenarnya kurang memberikan jaminan perlindungan bagi bisnis franchise tersebut. Pendaftaran dapat dilakukan di instansi terkait dan umumnya di Departemen Hukum dan HAM.
Dalam klausul harus ditentukan penentuan jangka waktu dan dapat diperpanjang kembali, Hal ini penting sebab dengan jangka waktu yang relatif pendek seandainya terjadi pengakhiran perjanjian, maka penerima waralaba (franchise) dapat rugi karena investasi franchise, franchise fee, royalti, serta fee lainnya telah banyak dikeluarkan tetapi belum mendapat kompensasi keuntungan dari bisnis franchise yang dijalankan.
Perjanjian franchise merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan merugikan pihak lain. Hal ini dikarenakan perjanjian dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk menegakan perlindungan hukum bagi para pihak jika salah satu pihak melanggar perjanjian, maka pihak lain dapat menuntut ganti kerugian kepada pihak yang merugikan sesuai dengan hukum yang berlaku. Franchise perlu memperoleh perlindungan hukum akibat ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar (enequal bargaining power) dalam suatu perjanjian membuat kedudukan franchise tidak mempunyai posisi tawar yang cukup kuat untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya.
Franchisor menetapkan syarat – syarat dan standar yang harus diikuti oleh franchise yang memungkinkan franchisor membatalkan perjanjian apabila menilai franchise tidak dapat memenuhi kewajibannya. Perlindungan hukum bagi franchise dalam hal adanya posisi yang tidak berimbang dalam perjanjian antara franchisor dan franchise dapat dilakukan dengan cara yaitu pihak franchise dapat menolak melakukan prestasinya atau menolak melakukan prestasi selanjutnya, manakala pihak franchisor telah terlebih dahulu melakukan wanprestasi atau pelanggaran perjanjian. Pasal 8 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berisi franchisor wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, pembinaan, bimbingan, operasional, managemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada franchisee secara berkesinambungan. Sehingga apabila franchisee mengalami kesulitan dalam memasarkan franchisenya, maka franchisor bersedia melakukan pembinaan.[8]
Berdasarkan pasal tersebut, bila franchisor tidak melaporkan pendaftara prospectus penawaran waralaba/tidak melaukan pendaftaran perjanjian waralaba maka franchisor akan dikenakan sanksi.[9] Ini merupakan salah satu usaha pemerintah untuk melindungi franchisee dari franchisor yang hanya ingin mendapatkan keuntungan pribadi. Perlidungan hukum yang dapat diberikan kepada franchisee berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 serta Buku III KUHPerdata bersifat preventif atau pencegahan.
Franchisee juga wajib mendaftarkan perjanjian warabala.[10] Dengan adanya pendaftaran perjanjian warabala oleh franchisee maka franchisee diberi kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap hal-hal yang disampaikan oleh franchisor terkait propektus penawaran warabala terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian franchise. Selain terkait dengan pendaftaran perjanjian warabala maka franchisee juga dapat mengupayakan perlindungan hukum terkait hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh franchisor apabila terdapat pihak ketiga yang melakukan pelanggaran hak kekayaan intelektual. Franchisee dapat mengajukan upaya hukum baik secara litigasi maupun non litigasi sesuai kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian franchise.
Dilihat dari ruang lingkup dan konsepnya, sebenarnya perjanjian franchise berada di antara perjanjian lisensi dan distributor. Ada pemberian izin oleh pemegang hak milik intelektual kepada pihak lain untuk menggunakan merk ataupun prosedur tertentu merupakan unsur perjanjian lisensi. Di lain pihak juga adanya quality control dari franchisor terhadap produk-produk pemegang lisensi yang harus sama dengan produk-produk lisensor, seakan-akan pemegang franchise merupakan distibutor franchisor. Sebagaimana dalam perjanjian lisensi, pada perjanjian franchise juga pemegang franchise wajib membayar sejumlah royalty untuk penggunaan merek dagang dan proses pembuatan produk yang besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian. Dalam hal demikian pihak franchisor tidak peduli apakah pemegang franchise untung atau tidak. Disamping harus membayar royalty, pihak pemegang franchise juga sering harus memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh franchisor untuk mendesian perusahaan sedemikian rupa sehingga mirip dengan desain perusahaan franchisor. Begitupula dengan menajemennya, tidak jarang franchisor juga memberikan assistensi dalam manajemen.
Dalam hal demikian pemegang franchise perlu membayar fee tersendiri kepada assistensi tersebut. Tidak jarang pula franchisor dalam pembuatan produknya mewajibkan pemengang franchise untuk membeli bahan-bahan dari pemasok yang ditunjuk oleh franchisor. Bahkan kadang-kadang pemegang franchise berdasarkan perjanjian memperbolehkan franchisor melakukan auditing terhadap keuangan pemegang franchise. Semua ini diwajibkan oleh franchisor dengan alasan quality control. Namun dilain pihak melalui perjanjian lisensi maupun franchise diharapkan terjalinya alih teknologi antara franchisor terhadap franchisee. Walaupun saat ini Indonesia belum mempunyai Undang-undang yang secara khusus mengatur bisnis warabala, namun keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Warabala telah cukup memberikan landasan hukum bagi bisnis warabala di Indonesia. Namun demikian, tentunya peraturan perundang-undangan tersebut di atas tidak akan berguna apabila tidak ada upaya penegakkannya, khususnya dalam.
Dengan demikian, meskipun Undang-undang yang khusus mengatur tentang warabala belum ada maka Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Warabala juga didukung ketentuan-ketentuan yang dapat mendukung kepastian hukum dalam bisnis warabala saat ini yakni sebagai berikut :
2.3.1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
2.3.2. Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
2.3.3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
2.3.4. Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
2.3.5. Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Warabala.
BAB 3
KESIMPULAN
KESIMPULAN
3.1. Kelebihan franchise adalah secara organisasi fanchise mempresentasikan sebuah aliansi kolaboratif yang mana keberhasilannya tergantung pada kerjasama antar franchisor dan franchise. Selain itu, waralaba juga dapat dipergunakan sebagai model pengembangan usaha ke pasar internasional utnuk melakukan investasi dan memandukan keuntungan lokal dengan keuntungan global.
3.2. Sedangkan kekurangannya adalah sebagai berkut :
3.2.1. Biaya yang berhubungan dengan franchise yang seringkali dituntut sangat tinggi oleh franchisor.
3.2.2. Pembatasan operasi yang membatasi kontrak franchise seperti membatasi daerah penjualan.
3.2.3. Hilangnya kebebasan sebagai akibat dibawah pengendalian langsung dari franchisor.
3.3.Meskipun Undang-undang yang khusus mengatur tentang warabala belum ada maka Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Warabala juga didukung ketentuan-ketentuan yang dapat mendukung kepastian hukum dalam bisnis. Semuanya telah diatur dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah agar franchise terhindar dari tindakan sewanang-wenang dari franchisor[11].
DAFTAR PUSTAKA
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 Tentang Waralaba
- Makalah Ibu Ani Yunita, S.H. Di dapat pada saat seminar ilmiah. 2013. Ruang sidang FH UMY.
- Gunawan Widjaja. 2003. Waralaba. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
- Moch. Najib Imanullah. “Pengaruh Berlakunya Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba Terhadap Pertumbuhan Warlaba di Surkarta”. Jurnal Yustisia, Edisi 80. Agustus 2010.
- Maxmanroe. “Definisi Waralaba atau Franchise”. 14 Januari 2013. http://www.pengusaha.co/thread-104-definisi-waralaba-atau-franchise.html#. Diakses pada tanggal 17 Desember 2014.
- Zehan Widiastuti. “Perkembangan Waralaba di Indonesia”. 09 April 2014. http://zehanwidiastuti.wordpress.com/2014/04/09/perkembangan-waralaba-di-indonesia/. Diakses pada tanggal 17 Desember 2014.
NB : “Sumber utama dari makalah ini adalah materi dari Ibu Ani Yunita, S.H. selaku asissten dosen di fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang dibagikan pada saat seminar ilmiah fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Terimakasih kepada beliau karena makalahnya sangat membantu kami dalam penyusunan tugas kami ini”
[1] Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
[2] pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba
[3] Campbell Black dalam bukunya Black’s Law Dict.
[5] Orang atau badan usaha yang memiliki konsep, merek produk dan, di mana franchisor menguasai, mengembangkan dan memberikannya melalui kontrak perjanjian franchise.
[6] Orang atau badan usaha yang memperoleh hak mereproduksi konsep franchisor di mana franchisee terikat dengan kontrak perjanjian.
[7] Jumlah yang dibayarkan untuk penggunaan properti, seperti hak paten, hak cipta, atau sumber alam.
[8] Lihat Pasal 8 PP. No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba
[9] Sanksi berupa denda dan pencabutan surat tanda pendaftran waralaba (STPW)
[11] Ani Yunita, S.H. dalam seminar ilmiah di ruang sidang FH UMY.