oleh : Bagus S. Hardono
Sinetron
yang terjadi di negeri kita tercinta ini bukan sekedar sinetron biasa yang
seirng tampil di layar kaca setiap malamnya. Jika senetron yang tampil di layar
kaca adalah kebanyakan dari kisah fiktif semata maka sinetron cicak vs buaya
ini adalah kisah nyata yang telah, sedang, dan mungkin adakan berlanjut ke
jilid selanjutnya. Cicak di sini diperankan oleh pihak KPK sedangkan Buaya
adalah pihak kepolisian. Jika melihat ukurannya mungkin kita bisa tau bahwa
buayalah yang akan memenangkan pertarungan, tapi siapa yang tau.
Cicak
vs buaya pertama kali dimunculkan pada kasus mantan Kabareskim Mabes Polri
yaitu Komjen Polisi Susno Duadji. Peristilahan cicak melawan buaya inipun lahir
dari ucapannya yang mengatakan bahwa “Kalau
orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim)
memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana
tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika
dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya.
Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu
yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan
kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.” (tempo.co)
Jelas
dari perkataan dia tersebut seakan-akan bahwa adalah tidak mungkin cicak bisa
menang melawan buaya yang saat itu sedang di incar oleh pasukan cicak. KPK yang
pada saat itu diketuai oleh Antasari Azhar diserang habis-habisan oleh pihak
yang tergolong dalam aliansi buaya itu, yaitu para pendukung koruptop. Mulai dari
wakil pemimpin KPK yang dituduhkan dengan tuduhan yang tidak jelas sampai ketua
KPK yaitu pak Antasari Azhar yang dituduhkan sebagai otak dari pembunuhan
Nasrudin. Dengan digantungnya kasus dari mantan ketua KPK tersebut sekaligus
menghilangkan bukti-bukti kasus yang lain, salah satunya adalah kasus century.
Akan
tetapi pada akhirnya mantan Kabareskrim mabes polri tersebut yaitu Susno Duadji
terbukti bersalah atas kasus korupsi PT Salma Arowana Lestari dan korupsi dana
pengamanan Pilkada Jawa Barat. Selanjutnya Susno Duadji di vonis hukuman selama
3,5 tahun penjara.
Dengan
demikian berakhirlah kasus cicak vs buaya jilid satu. Yang menurut saya tidak
dimenangkan oleh siapapun karena terbukti untuk membuktikan kasus korupsi di Indonesia
masihlah dalam tahap yang mungkin atau tidak mungkin. Bagaimana tidak ketika
kasus korupsi dan yang melakukan korupsi adalah pihak kepolisian maka akan
selalu ada yang menjadi “tersangka” dari pihak KPK.
Lebih
jauh terjadi lagi kasus cicak vs korupsi jilid 2 yang masih diperankan oleh
pemeran yang sama, KPK dan pihak kepolisian. Ketua KPK yang saat itu telah
berganti menjadi pak Abraham Samad (sampai sekarang) mencoba menahan dan
membuktikan kasus korupsi simulator sim yang dilakukan oleh dua jendral polisi
yang masih aktif yaitu Irjen Djoko Susilo dan Brigjen Didik Purnomo. Pada saat
itu adalah pertama kalinya cicak memasuki sarang buaya yang sampai-sapai
membuat cicak tersebut tidak diizinkan keluar selama satu hari dari sarang
buaya tersebut, walaupun setelah adanya perundingan sang cicak bisa dikeluarkan
dengan membawa alat bukti yang mereka ambil dari sarang buaya tersebut.
Pada
jilid 2 kali ini pihak kepolisian menyerang penyidik KPK yang berasal dari
kepolisian itu sendir dengan kasus yang terjadi di tahun 2004. Tapi pada
akhirnya setegang apapun perseturuan yang terjadi pihak, oknum polisi yaitu
Irjen Djoko Susilo dan Brigjen Didik Purnomo tetap ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus korupsi pengadaan simulator sim. Didik Punomo sendiri dijatuhi
hukuman pidana penjara selama 10 tahun penjara, lalu kemudian ditingkat banding
pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukumannya menjadi 18 tahun penjara. Sedangkan
Djoko susilo sendiri dari 10 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara dan denda
Rp 1 miliar. Djoko juga diperintahkan membayar uang pengganti senilai Rp 32
miliar subsider lima tahun penjara. PT DKI juga mencabut hak Djoko untuk
memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Pengadilan juga memerintahkan semua
barang bukti yang telah disita dirampas untuk negara. (Nasional.kompas.com)
Dan
sekali lagi senetron pada jilid 2 ini dimenangi oleh pihak KPK selaku berperan
sebagai cicak yang mencoba menguak keburukan di tubuh buaya tersebut. komitmen
yang diberikan oleh ketua KPK pada saat itu (sampai sekarang) memberikan
harapan pada publik nantinya KPK bisa membersihkan negara ini dari
penjajah-penjajah yang lahir dari masa orde baru, penjajah tersebut ialah para
aktor yang berperan ganda sebagai warga negara yang baik sekaligus buruk.
Pada
saat inipun kasus cicak vs buaya sepertinya akan berlanjut kembali ketika Presiden
terpilih Ir. Joko widodo akan melantik Komjen Budi Gunawan sebagai satu-satunya
calon kapolri. Pada saat akan di sahkannya Komjen Budi Gunawan tersebut,
serentak pihak KPK memberikan dan menerbitkan penetapan tersangka kepada Komjen
Budi Gunawan tersebut pada kasus dugaan suap dan gratifikasi penerimaan hadiah atau janji selama menjabat
sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode
2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian.
Kasus
inipun memunculkan kekhawatiran publik yang takut akan terjadinya cicak vs
buaya jilid 3 seperti kasus kasus sebelumnya. Walaupun pelantikan kapolri
ditunda oleh presiden dikarenakan penetapan tersebut, tetapi bola sudah
digulingkan akan sulit untuk dihentikan ketika bola itu menuruni gunung.
Begitu
banya kasus yang terjadi di tubuh kepolisian RI yang menyebabkan adanya
tudingan bahwa polri adalah salah satu instansi terkorup yang ada di negara Indonesia.
Tidak bia dipungkiri, pada masa penerimaan anggota kpolisian terjadi banya
korupsi kolusi dan neoptisme di setiap tahapannya. Banyak yang rela
menghabiskan jutaan bahkan ratusan milliard agar bisa masuk kedalam instansi
pelayan masyarakat tersebut.
Kita
ketahui bahwa iklan yang meyatakan bahwa penerimaan anggot kepolisian tidak
dipungut biaya sama sekali adalah sala hsatu kebohongan. Karena jika kita
menocoba semampu kita maka kita yang sebenarnya bisa masuk kedalam instansi
pelayan masyaraat tersebut akan mudah tergusur oleh orang yang mempunyai
kenalan di dalam polri ataupun oleh orang yang membayar lebih banyak. Walapun ada
yang lulus secara murni tapi tidak banyak pula yang lulus secara tidak wajar.
Bagaimana polisi tidak melakukan korupsi jika baru masuk saja sudah melakukan korupsi ?
bagaimana polisi tidak melakuka nopotisme jika saat masuk saja dia dibantu oleh
“orang dalam”. Kasus-kasus yang terjadi dipihak kepolisian tidak akan pernah
berakhir jika tida diselesaikan dari awal, yaitu dari pada saat penerimaan
calon anggota polisi. Jika tidak maka
bukan tidak mungkin akan terjadi lagi cicak vs buaya jilid-jilid selanjutnya
yang hanya akan menjadika negara ini menjadi bahan tertawaan negara yang lain.
Walaupun
kita sebagai warga negara kita harus terus berusaha agar tidak akan terjadi
lagi cicak vs buaya jilid selanjutnya, tapi dengan keadaan dan sistem
perekrutan anggota kepolisian yang sangat memungkinan terjadinya KKN maka bukan
tidak mungkin hal itu akan terjadi lagi. Kesombongan yang ada pada para pelayan
masyarakat tersebut membuat mereka menjadi arogan dan melupakan hakekat mereka
sebagai pelayan masyarakat. Itu semua adala hasil perekrutan yang buruk dari
sistem perekrutan yang buruk pula maka output yang dikeluarkan yaitu anggota
polisi yang buruk pula. Kita harus mencegah jangan sampai polisi yang dikatakan sebagai "anjing" negara (maaf), menjadi tikus negara yang kerjaanya hanya menggerogoti negara ini sampai habis. seperti pepatah hukum yang mengatakan bahwa Fiat justitia ruat caelum (tegakkan hukum walau langit akan runtuh)