Aku berjalan ditengah kehampaan, berbaur dengan
angin, bersatu dengan awan, berjalan beriringan dengan pembawa kematian. Tak
tau arah kemana dan untuk apa menuju, tak paham akan hakikat ada dan tiada, tak
mengerti tentang kepiluan diri dan mereka.
Terus aku berjalan untuk mencari tempat
pemberhentian, sampai pada saat dimana rintik hujan jatuh bertaburan, aku jatuh
bersamanya. Sungguh pilu, itulah yang aku rasakan, ketika aku harus jatuh dan
bertebaran bersama rintik hujan, seraya melihat kehampaan dari bawah awan.
Namun haruskah aku menangisi kejatuhan ini ?
menangisinya karena tidak bisa lagi mencari tempat pemberhentian bersama angin dan
awan ? menangis karena berpisah dengan kehampaan ? menangisinya karena harus
memulai dari awal ? lalu apakah awal itu ? semesta seperti berputar dalam
kepala kecilku, mencaba mencari titik dalam semesta yang bisa menerimaku dan
menghapuskan tangisku.
Tapi aku melihat sedikit cahaya dan melihat
kegelapan dalam bumi ini. Mungkinkah ini maksudnya ? mungkinkah Sang sutradara
memberikan peran yang lebih penting untukku bersama kejatuhan yang aku alami ?
mungkinkah jatuhku berpisah dengan kehampaan beserta angin dan awan bisa
membawaku bertemu dengan bumi ? fikiran dan nuraniku bergejolak, memberontak
bersama semua pasukan argumentasinya, memporak-porandakan tempat kediamanya.
Bumi memang adalah tempat yang penuh dengan misteri,
dia melahirkan keindahan sekaligus kejelekan, menampung keburukan serta
kebaikan memberikan harapan namun juga menimbulkan keputusasaan.
Untuk saat ini aku sampai pada titik dimana nurani
dan fikiran tak lagi bersatu, bercerai mencari pasangan baru, untuk mencoba
menempuh perjalanan yang berlainan namun dengan satu tujuan yang aku putuskan
tanpa berdasarkan nurani dan fikiran.
Aku hanya tau satu hal, perjalananku untuk mencari
tempat pemberhentian belumlah usai, aku mungkin bisa kembali bersama dan melebur
bersama angin dan awan, menemani kehampaan, namun juga bisa berada di tempat
penuh misteri ini terjebak dan terjerembab untuk terus merenungi.