Oleh : B.S.H.
Seraya
gembulan asap terakhir dari kretek ditangan, kabut pagi membangunkanku dari
imajinasi tentang malam-malam yang indah dahulu kala saat putih abu-abu masih
menjadi pakaain wajib setiap paginya. Suara payau dari angin pagi yang seolah
menyapa dan berkata selamat pagi pada diri yang masih terpatung akan masa lalu,
kumandang Adzan bersautan membangunkan mereka yang masih teerlelap dalam mimpi
indah dengan melodi melayu serta sosok yang selalu mendayu-dayu, ah sepertinya
sudah lama tak pernah kurasakan nikmatnya mimpi-mimpi itu.
Yah, pagi ini sekali lagi sosok
perempuan yang mengajarkan bagaimana nikmatnya keharaman itu muncul bersamaan
dengan melodi burung dipagi hari, berbisik dedaunan tentang kisah seorang
remaja yang jatuh hati pertama kali dan sakit hati sampai saat ini. Dibuai
dengan kisah-kisah cinta sejati, puisi yang syahdu bak rembulan terang dipagi
malam hari, dia terlena akan indahnya syair-syair cinta namun tak pernah
mempelajari nestapa hingga dia mengutuk aksara.
“Sudahlah, lupakan. Dia sudah punya
kehidupan yang lebih baik darimu bung”. Kalimat yang keluar dari mulut sahabat
yang telah tega membangunkanku dari kenangan manis masa kelam putih abu-abu.
Kalimat itu seperti dentuman gunung merapi yang mengagetkan orang-orang dalam
kesehariannya yang sunyi, bersorak sorak petir diangkasa sekan bergembira dengan
bangunnya cerita masa lalu.
Bibirku seketika diam, menyaring apa
yang harus dikeluarkan diantara rongga-rongga mulut yang terus menyulut batang
rokok agar bisa menghasilkan karbondioksida disekitarku. Otak membeku, terfokus
pada diri yang pernah membenamkan belatih dalam hati, ruh membidik jauh ke
angkasa seakan ingin menuju ars-Nya bercerita dengan pembuat segala cerita yang
ada untuk agar setidaknya bisa merevisi cerita tentang diri yang terluka. Bibirku
kala itu hanya bisa bergumam memaki diri sendiri dengan segala kebodohan yang
telah terjadi.
Apalah daya, dia yang disana lebih
baik, lebih indah tampangnya, lebih terhormat keluarganya, lebih sempurna hidupnya,
dan lebih yang lainnya –fikirku-, namun bukankah cinta tak memandang semua itu
? bukankah cinta harusnya berakhir dengan indah ? seperti film-film yang
ditanyangkan di tv swasta setiap paginya, dimana pengemispun bisa dicintai oleh
bos seorang perusahaan yang cantik jelita, seperti kisah dongeng yang selalu
diceritakan orang tua ketika anaknya tidur, dimana buruk rupa bisa dicinta
semua wanita.
”Apa yang kau fikirkan, kau sudah
tidak tidur semalaman kau bisa mati sambil duduk bersama rokok payahmu”. Ah,
orang ini sungguh ingin kutinju mulut payahnya yang sering membangunkanku dalam
lamunan indah, namun tangan ini sudah terlalu lesuh, tubuh ini sudah terlalu
lunglai dan perhitungan besar badannya yang sungguh terlalu besar dariku,
sekali hantaman tangannya pasti bisa mengantarkanku keruang yang paling aku
benci dengan segala bentuk jarun yang ada dalam sebuah ruangan yang seakan-akan
ingin menambah luka belatih dalam hati yang pernah dia tancapkan. Pilihan
laiinya adalah mengusirnya dan memintanya untuk segera ke kampus menyelesaikan
kuliahaanya secepatnya. Namun aku sadar, dialah yang sering membangunkanku
ketika aku menyiksa diriku dengan menikamti cumbuan banyangan dirimu yang tidak
lagi pernah kurasa. Ah selasa itu sungguh buatku berfikir masih adakah aku
dimasa ini.