Oleh : B.S.H.
Kita memang tak bisa hidup selamanya, tapi kita bisa hidup melalui cerita yang kita buat, untuk dikenang generasi selanjutnya.
Modern, kata yang sering kita dengar di zaman yang serba serbi teknologi ini. Mulai dari peralatan kantor sampai bertani serba teknologi terbaru. Semua kalangan menikmatinya, karena ini adalah zaman yang paling di tunggu manusia dimana mereka tidak harus bekerja keras lagi karena mereka hanya tinggal perlu bekerja se-cerdas mungkin. Zaman dimana persaingan menjadi semakin menjadi-jadi individulaisasi dimana-mana globalisasi menjadi topik yang terhangatkan dan moderenisasi menjadi sebuah kebanggaan. Budaya menjadi hal yang memalukan, adat istiadat ditinggalkan, menjadi penduduk adat adalah hal yang memalukan. Namun saya disini tidak menyalahkan zaman yang disebut modern ini, tapi hanya mengingatkan kepada orang yang lupa akan jati dirinya, lupa bahwa setiap zaman membawa racunnya, dan dia menelan hal ini begitu saja.
Dampak dari moderenitas ini pun membuat banyak manusia mempunyai pola hidup yang hedonis, tak peka dalam setiap permasalahan di sekitar ruanglingkup kehidupannya –yang dalam bahasa jawa diplesetkan menjadi pekok (Bodoh)-. Yah inilah memang racun yang dibawa oleh zaman ini, dimana setiap orang harus terus berjuang melawan orang sekitarnya, setiap orang meningkatkan sifat homo homini lupus-nya dan membuat sifat zoonpoliticon-nya menjadi sekedar batu pijakan untuk mendekati mangsanya. Heterogensi dari sebuah masyarakat sudah mulai banyak terlihat, seolah mereka menyatu, tapi mereka terpisah satu sama lain –bahkan tidak saling kenal satu dengan yang lain-. Hal ini mengalir terus sampai pada titik dimana tidak ada lagi kepedulian terhadap manusia, tidak ada lagi si tou timou tumou tou "manusia yang hidup untuk menghidupi (mendidik) manusia yang lain" –menurut Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau yang dikenal di Manado sebagai Sam Ratulangi- yang pada akhirnya bermuara kepada tidak adanya kepedulian untuk ilmu pengetahuan.
Bukan bersifat pesimistik tapi ini sudah benar terjadi –dan akan terus berlangsung- di zaman ini, dimana teknologi membunuh sifat kemanusiaan manusia, membuang rasa kepekaan terhadap lingkungan dan sekitarnya hanya untuk mengejar ketertinggalan zaman. Semua dilakukan hanya demi mendapat gelar termoderen dan memoderenisasi semua –termasuk tingkah laku-. Tidak ada yang salah memang dengan sifat memoderenisasi ini tapi kita harusnya tau dan faham mana yang harus di moderenisasi dan mana yang dibiarkan begitu saja kemurniannya sampai kita kembali lagi nanti menghadap Sang Pembuat skenario.
Adapun dampak yang begitu nampak saat ini terasa adalah mulai menurunnya tingkat kesastraan seseorang dan tingkat kemauan seseorang untuk menuliskan setiap pemikiran dan hasil kerjanya dalam sebuah manuskirp yang entah dalam bentuk elektronik ataupun dalam bentuk tertulis dalam kertas atau bahkan batu dan pohon-pohon. Mulai menurunya kelompok-kelompok yang memperjuangkan dan mempelaari ajaran dari orang terdahulu melalui buku atau tulisannya dan menuliskannya kembali seperti para filusif romawi kuno. Tidak ada lagi semangat Plato, Socrates, Ibnu Sina, dan yang sejenisnya dalam memperjuangkan budaya literasi.
Literasi telah mulai menghilang, dan akan terus menghilang jika para penerus zaman ini –Kita- tidak mau lagi dan tidak peduli lagi dengan budaya ini. Tak bisa dipungkiri kita terlalu malas untuk mengkaji dan menuliskannya kembali menurut hasil kajian kita, kita lebih senang mempelajari hasil kajian orang lain tanpa menuliskannya kembali untuk melestarikannya. Dampaknya adalah tidak ada lagi kelanjutan dari kajian yang kita pelajari, semua buku menjadi usang tanpa ada yang memperbarui –untuk saat ini mash ada yang peduli- karena budaya literasi sudah memudar dikalangan intelektual (katanya) dan di kalangan mahasiswa selaku kontrol sosial (katanya juga).
Kita bisa lihat fenomena saat ini dimana orang-orang mulai bosan dan bahkan malu untuk menulis apalagi belajar untuk menulis demi membudayakan kembali budaya literasi. Kita teerkadang malu dengan cemohan orang-orang sekitar ketika kita meliteralisasikan pemikiran sastra kita, kita di cap alay, gak punya kerjaan, dan sejenisnya. Namun tak bisa dipungkiri, ini menjadi salah satu dampak raun moderenitas dimana orang-orang mulai mencari eksistensinya dalam sebuah kelompok dengan menggunakan segala macam cara, seperti mengikuti keinginan dan ketidaksukaan mereka, padahal bukannya kita harus hidup bebas tanpa paksaan ? Ketika kita membuat sajak ataupun puisi biarkanlah mereka menggonggong dengan gong-gongan alay karena sesungguhnya mereka telah kehilangan nilai kesastraaan dalam diri mereka.
Budaya literasi ini kita harus terus kembangkan karena ini adalah salah satu peninggalan budaya sejak zaman dahulu kala –bahkan zaman para nabi- yang telah di bersihkan racunnya dari zaman ke zaman jadi kita hanya tinggal melestarikannya saja. Namun bukan berarti juga kita tidak boleh dan tidak dapat memoderenisasikan sesuatu di zaman kita. Kita hanya perlu mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dimoderenisasi dan hal apa yang tidak perlu. Hal-hal yang perlu dimoderenisasi adalah seperti teknologi dan kecanggihan kita dalam menggunakannya, namun kita harus pula menyaring virus yang dibawanya agar sifat zoon politicon kita tetap hidup dan menekan sifat homo homini lupus kita. Tak bisa dipungkiri kita saat ini harus bisa menemukan teknologi terbarukan dan harus pula paham cara menggunakannya agar kita tidak ditelan zaman. Adapun hal-hal yang harusnya dibiarkan saja tanpa harus dilakukan moderenisasi selain budaya literasi adalah sifat kebaikan manusia serta nilai-nilai baik yang telah diterapkan dari dahulu zaman-zaman sebelumnya, karena hal ini telah –harusnya- disharing oleh para pendahulu kita setiap racunnya jadi kita tinggal menerapkan dan memilah saja mana yang patut dan mana yang tidak patut digunakan.
Diakhir kata ini saya selaku penulis hanya berpesan untuk dirisendiri dan yang lainnya bahwa jangan pernah malu untuk menulis apapun itu yang ingin kau tulis selama tidak keluar dari batasan-batasan yang ada disekitar kita, mari kita sama-sama hidupkan kembali budaya literasi yang telah ditinggalkan para pendahulu kita kepada kita, agar nantinya para penerus bisa memahami kegelisahan ataupun memahami kecintaan dan kisah yang ada di zaman kita ini.