Oleh
: B.S.H.
A. Sejarah Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Membicarakan
Mahkamah Konstitusi atau yang sering di sebut MK di Indonesia berarti tidak
dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya
merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Terdapat beberapa momen dari jelajah histories yang patut
dicermati antara lain ; kasus
Madison vs Marbury di AS dan gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI.
Berdirinya
Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah dari Mahkamah
Agung, mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh
sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang pada dasarnya
menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih
tinggi. Sejarah
modern judicial review, yang
merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi, di Amerika Serikat
dilakukan oleh Mahkamah Agung, dimulai sejak terjadinya kasus Marbury versus Madison (1803). Mahkamah
Agung Amerika Serikat yang waktu itu di ketuai oleh Hakim Agung John Marshall
memutus sengketa yang pada dasarnya bukanlah apa yang dimohonkan untuk diputus
oleh kewenangannnya sebagai ketua Mahkamah Agung.
Para
penggugat (William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan Willia
Harper) memohonkan agar ketua Mahkamah Agung sebagai kewenangannnya
memerintahkan pemerintah mengeluarkan write
of mandamus dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan mereka. Tetapi
Mahkamah Agung dalam putusannnya membenarkan bahwa pemerintahan John Adams
telah melakukan semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum sehingga William
Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas surat-surat pengangkatan
mereka. Namun Mahkamah Agung sendiri menyatakan tidak berwenang memerintahkan
kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat yang dimaksud. Mahkamah
Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat, yaitu agar Mahkamah
Agung mengeluarkan write of mandamus sebagaimana ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena ketentuan
Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat. Atas dasar
penafsiran terhadap konstitusi-lah perkara ini diputus oleh John Marshall.
Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam sejarah Amerika
yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak
negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun undang-undang
negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court.
Momen
yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau yang disebut BPUPKI. Mohammad
Yamin menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang
pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele
geschil atau constitutional disputes.
Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil)
terhadap Undang-Undang. Mohammad Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung
diberi wewenang “membanding” undang-undang. Namun usulannya disanggah oleh
Soepomo dengan empat alasan bahwa (i) konsep dasar yang dianut dalam UUD yang
tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power), selain itu, (ii)
tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, (iii)
kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan
konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) sebagai negara yang
baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman
mengenai judicial review. Akhirnya, ide itu tidak jadi diadopsi dalam UUD 1945.
Tetapi setelah
terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 yang berdampak
pada berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan hukum. Gagasan Mohammad
Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk Mahkamah
Konstitusi mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI
(PAH I BP MPR), pada Maret-April tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam
lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang,
memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain
yang diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan
putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah
melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga
pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan
masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai
pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945.
Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang
diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945
serta Pasal 7B pada 9 November 2001.
B. Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Jika kita melihat
sejarah terbentuknya atau munculnya ide pembetukan Mahkamah Konstitusi atau
yang sering disebut MK sebagaimana telah dikemukakan diatas, utamanya tentang
Mohammad Yamin yang memperjuangkan terbentuknya MK serta berbagai elemen lain,
maka bukan tanpa alasan mereka ingin Mahkamah Konstitusi dibentuk. Hal ini
karena Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan
pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di
negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju
demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional
biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan
itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam
perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik, juga
mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Apabila dilihat lebih
lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi
pada saat itu, yauti sebagai berikut.
1.
Sebagai
konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi
yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang
dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku
sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang
menguji konstitusionalitas undang-undang.
2. Pasca Perubahan
Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan
menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation
of powers) berdasarkan prinsip checks
and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat
potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan
paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga
tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara.
Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa
tersebut.
3. Kasus pemakzulan
(impeachment) Presiden Abdurrahman
Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk
mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis
semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai
terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan
dalam masa jabatannya.
Sedangkan menurut Prof.
Jimly Asshiddiq, dengan adanya perubahan dalam UUD 1945 seperti diatas, prinsip
negara hukum yang dianut dipertegas dengan (a) diaturnya mekanisme penegakan
hukum dimulai dari penegakan konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Sebagai akibat perubahan itu, (b) dipandang perlu untuk diadakan mekanisme guna
memutus sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang
mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya
ditentukan dalam UUD, (c) perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim
yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya
mendasarkan diri pada prinsip majority
rule. Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas
undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap
Presiden dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu,
(d) juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan
yang timbul yang tidak dapat diselesaikan malalui proses peradilan yang
biasa, seperti sengketa
hasil pemilu dan
tuntutan pembubaran sesuatu
partai politik. Perkara-perakara
semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan warganegara dalam dinamika
sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi- fungsi
penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik
juga dikaitkan dengan kewenangan MK.
Berdasarkan alasan
diataslah maka indonesia perlu kiranya pada saat itu membentuk peradilan yang
khusus dan berwenang menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan
undang-undang, seperti menguji undang-undang terhadap UUD, memutuskan sengketa
kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan
sengketa hasil pemilihan umum, dan memutuskan
pembubaran partai politik.
Sumber Tulisan:
Jimly Asshiddiqie. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara. Jakarta:
Konstitusi Press. 2005.