Seperti yang kita
ketahui bersama, hasil amandemen UUD 1945 telah mengubah sistem dan struktur
parlemen di Indonesia yang semula menerapkan sistem unicameral sekarang menjadi bicameral.
Pada hakekatnya dulu antara DPD dan DPR berada dalam satu kamar (unicameral) yang menyebabkan tidak
adanya/menghilangnya fungsi dari DPD karena semua diambil alih oleh DPR. Oleh karena
itu, maka DPD mengajukan perubahan terhadap UUD 1945 dan hasilnya terbentuklah
sistem bicameral.
Pada hakekatnya
sistem bicameral ini memisahkan
antara kamar DPD dan DPR untuk (1) memaksimalkan keterwakilan (representation)
dan (2) membangun sistem checks and balances dalam lembaga perwakilan, serta
membuka peluang pembahasan berlapis (redundancy) untuk memperluas dan
memperdalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik yang berdampak besar
bagi rakyat. (Ginadjar Kartasasmita, op. cit., hlm. 10)
Giovanni Sartori
membagi model bikameral menjadi 3 jenis, yaitu: (1) sistem bikameral yang lemah
(soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan
atas kamar yang lainnya; (2) sistem bikameral yang simetris atau relatif sama
kuat (symmetric bicameralism atau strong bicameralism), yaitu apabila antara
dua kamar nyaris sama kuat; (3) perfect bicameralism, yaitu apabila kekuatan antara
kedua kamar seimbang.
Yang dianut Indonesia
sekarang ini adalah soft bicameralism yaitu di mana salah satu kamar jauh lebih
mendominasi atas kamar yang lainnya. Ini terlihat jelas antara DPD dan DPR di
mana kekuasaan yang dimiliki DPR jauh lebih besar daripada kekuasaan yang
dimiliki oleh DPD. Padahal jika difikir kembali harusnya kekuasaan yang mereka
miliki seimbang karena mereka sama-sama merupakan sebuah lembaga perwakilan
yang memiliki fungsi dan tujuan sendiri.
Salah satu contoh adalah
salah ketika dalam pembentukan peraturan atau undang-undang DPD sama sekali
tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses
pengambilan keputusan sama sekali. DPD hanya terlibat dalam proses pengajuan
sampai pembahasan saja sedangkan untuk proses persetujuan merupakan kewenangan
dari DPR dan president.
Polemik yang terjadi
sebenarnya sudah sangat lama. DPD sudah sering mengajukan PK kepada mahkama
konstitusi mengenai UUD 1945 yang sangat membatasi fungsi dan kewenangan DPD. Padahal
jika kita berfikir kembali betapa sulinya menjadi anggota DPD karena kita harus
memenangkan suara di satu daerah dan itupun tanpa kendaraan partai politik. Berbeda
halnya dengan DPR yang hanya perlu memenangkan suara di suatu wilayah maka dia
sudah bisa menjadi anggota DPR dan itupun sudah dibantu oleh kendaraan politik.
Harusnya sebuah
perjuangan yang kuat mengharuskan tanggungjawab yang besar dan sebuah
tanggungjawab yang besar mempunyai kewenangan yang besar pula. Akan tetapi
berbeda halnya yang terjadi dinegara kita, seakan-akan para pejuang daerah
tidak terlihat perjuangannya dan seringkali dianggap sebagai actor yang
berperan di belakang layar dan DPRlah yang menjadi actor utamanya.
Hak dan kewajiban
yang harusnya sama didapatkan oleh DPD dan DPR untuk menjalankan tugas dan
fungsinya dibatasi oleh peraturan-peraturan yang hanya menguntungkan pihak DPR
saja seakan-akan merekalah pahlawan dari Negara dan DPD adalah yang membantu
pahlawan itu.