Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 04 Februari 2015

Teman, Sahabat, dan Cinta

Ini adalah cerita tentang seorang manusia yang mencoba mencari jawaban atas semua hal yang ia pertanyakan untuk dirinya sendiri. Disaat kesendiriannya ia selalu membuat pertanyaan dan selalu berusaha menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Pertanyaa itupun mulai meliputi hal yang biasa sampai yang tidak biasa, hal yang sepele sampai hal yang cukup berat, dan meliputi hal yang mungkin bahkan sampai hal yang tidak mungkin. Semunya tidak luput dari pertanyaan yang keluar dari fikiran anak tersebut.

Terkadang orang menyebut anak itu sebagai orang yang tukang bertanya, orang yang suka mencari tau, orang yang bodoh (akibat dari suka bertanya), bahkan mungkin ada yang menganggap anak itu sudah keluar dari batas kewarasan pikirannya (gila). Tapi apapun yang orang lain kata ia selalu percaya pada dirinya dan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi jawaban atas pertanyaannya. Samapai ketika ia bertanya pada diri sendiri tentang kebenaran dari teman, cinta, dan sahabat. Pertanyaan yang keluar dari pemikirannya itu bisa terbilang cukup sederhana yaitu mencari kebenaran tentang arti teman, cinta dan sahabat. Tapi sampai sekarangpun ia tidak menemukan jawaban dari pertanyaan yang dia ajukan ada dirinya sendiri itu.

Pada awalnya, yaitu pada masa emas dari anak tersebut, yaitu ketika anak itu berada pada tahap memasuki gerbang sekolah pertama atas dia masih percaya akan arti ketiga kata tersebut secara umum. Tapi sebuah insiden yang membuat dia mempertanyakan hakekat dari ketiga kata tersebut muncul saat itu juga.

Semua berawal pada saat keluarga anak itu mulai berantakan, saat sang ayah yang ia anggap sebagai pahlawan dan pembimbingnya tiba-tiba berubah menjadi orang yang dibencinya saat itu juga. Seketika itu hilanglah semua anggapan dan arti teman, cinta, dan sahabat baginya. Seketika itu dia kehilangan teman, seketika itu dia tak mempercayai yang namanya cinta, dan seketika itu pula tak ada sahabat yang berarti sahabat dimatanya serta disaat itupula presepsinya berubah tentang ketiga kata tersebut.

Semuanya berubah pada saat itu. Dan mungkin entah beruntung atau tidak, akibat dari peristiwa itupulalah yang mebuat anak tersebut menjadi kuat dan selalu mencari apapun yan dia inginkan secra sendiri. Ia tak pernah percaya pada orang lain.

Pencariannyapun berlanjut ketingkatan selanjutnya, yaitu ketika ia berada di sekolah menengah atas. Dia masuk di sekolah itu tanpa ada seorangpun yang mengenali dan dikenalinya. Sekolah itu benar-benar adalah suasana baru untuknya dan merupakan tempat penelitian yang cocok untuk semua pertanyaan yang telah dibawanya.

Namun semunya bertolak belakang dari apa yang dipikirkannya, ia tak pernah menemukan arti dari ketiga kata tersebut selama setahun berada disana. Ia masih terbayang akan kisah kelam hidupnya dan selalu memasang wajah yang senantiasa bergembira di hadapan orang lain. Karena jika tidak demikian dia menganggap orang lain tak akan mendekatinya. Pada saat itu dia menganggap teman hanya sebuah kata yang bisa menyatukan orang yang mempunyai “kebahagiaan” dalam hidupnya maka dari itu dia selalu tampak “bahagia” di setiap harinya tanpa ada seorangpun yang mengetahui “siapa” dia sebenarnya.

Tahun keduanya ia mulai menemukan arti dari pertemanan, dan itu sangat berbeda dari apa yang dia banyangkan. Keseimpulan arti teman yang ia dapat pada tahun keduasekolahnya ini adalah bahwa teman itu bukanlah mereka yang hanya berteman dengan orang yang mempunyai “kebahagiaan” saja, tapi teman adalah mereka yang bisa saling percaya diri mengatakan “dia adalah temanku, aku mengenalnya seperti ia mengenalku, walaupun aku mungkin atau dia mungkin telah melupakan namaku, tapi aku mengingat wajahnya seperti ia mengingat wajahku”. Itulah arti teman yang dia simpulkan pada saat itu. Akan tetapi masih terdapat dua pertanyaan yang menghatuinya disetiap malamnya, yaitu pertanyaan mengenai kebenaran cinta dan kebenaran arti sahabat.

Pada awalnya anak itu menarik sebuah asumsi sementara bahwa cinta adalah ketika kau melakukan hal bodoh dan orang yang kau cintai mempintarkanmu, katika kepintaranmu kau kesampingkan untuk membuat dia lebih unggul darimu, dan ketika kau membenarkan apapun yang dia katakana walalapun itu adalah kebohongan. Tapi semunya hanyalah asumsi sementara. Diapun tidak begitu yakin dengan asumsi yang deberikannya pada dirinya sendiri saat itu. Dan ternyata benar bahwa asumsinya itu salah ketika ia memasuki tahun ketiga masa sekolahnya. Semua asumsi yang dia berikan kepada dirinya sendiri itu seketika sirna seakan dihapuskan oleh sebuah badai.

Namun entah musibah ataupun anugerah, dilain pihak dia menemukan arti sahabat saat ketika asumsinya mengenai cinta itu hilang. Dia merasakan hal yang berbeda ketika ia berada di samping teman-temannya, dan dia berfikir “ah, mungkin inilah yang dinamakan sahabat”.  Ia beranggapan bahwa sahabat adalah ketika ia melakukan hal bodoh sahabatnya membantunya keluar dari hal bodoh tersebut atau ikut melakukan hal yang sama sampai keduanya keluar dari kebodohan yang mereka lakukan. Sahabat tidak harus selalu bersama, tapi sahabat adalah ketika tidak ada jarak yang terbentuk setelah sekian lama. Mereka senantiasa melakukan hal yang sama. Itulah sahabat menurut dia.

Sejenak dia melupakan pencariannya mengenai hakekat dari pertanyaan yang diajukannya mengenai cinta. Sampai ketiaka ia mnyelesaikan sekolahnya dan melanjutkan ketingkatan yang lebih tinggi.

Pada tingakatan ini dia mulai serius untuk menekuni  dan mengejar apa yang telah menjadi cita-citanya sejak dulu, dengan harapan dia melupakan pertanyaan yang diajukannya pada masa dulu. Tapi apa daya, sekuat dan seberusaha apapun dia melakukannya pertanyaant itu terus menerus menghantuinya pada setiap malamnya.

Namun untuk membuat batinnya tenang dia berasumsi bahwa cinta itu tidaklah nyata. Cinta itu hanyalah sebuah ilusi yang datang kepada orang yang mengejar obesesinya, atau bisa dikatakan cinta itu hanyalah sebuah obsesi belaka dari setiap manusia. Mengapa tidak menurut apa yang dia lihat  dan dia rasakan, setiap orang yang mengatakan mencintai hanyalah sebatas sampai mengejar dan mendapatkan orang  yang dikatakan dicintainya itu, setelah itu terjadi pertengkaran dan hilang pulalah cintanya. Jika tidak terjadi pertengkaran maka bahagialah salah satu atau kedua belah pihak. Lalu apa bedanya dengan obsesi ? ketika seseorang mengejar apa yang menjadi obsesinya dia selalu berusaha untuk mendapatkannya dan ketika ia mendapatkannya ia akan berusaha menjaganya, ketika ia mulai bosan maka ia akan menggantikan dengan obsesbi yang lain atau akan muncul obsesi baru. Lalu masihkah kita mengatakan cinta walapun pada dasarnya itu hanyalah sebuah obsesi ?

Tapi itupun hanyalah sebatas asumsi, dia sendiripun tidak 100% yakin dan membearkan asumsinya tersebut. tapi untuk saat ini asumsinya itulah yang mencegah dia melakuka hal bodoh dan melenceng dari jalur yang ia sudah bentuk pada awalnya.

Harapan yang ia selalu harapkan adalah dia akan menemukan jawaban yang pasti dari pertanyaan terkhirnya itu. Entah jawaban datang dari dirinya sendiri, dari temannya, dari sahabat maupun keluarganya, dan bahkan mungkin dari orang yang akan bersamaya suatu saat nanti.

 

#About

Hai, terimakasih telah berkunjung. Saya adalah bongkahan kesederhanaan yang diberi nama Bagus Setiawan Hardono. Berasal dari desa Muntoi Timur, Bolaang Mongondow, Sulawasi Utara

#Blogroll


#Blogger news