Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 24 Januari 2015

PENEGAKAN (ILUSI) HUKUM DI INDONESIA

Oleh : Bagus S. Hardono
    

Indonesia adalah salah satu negara yang mengakui adanya hukum yang berlaku dan juga negara yang mengakui bahwa hukum adalah panglima tertinggi di negara ini. Di setiap perbuatan kenegaraan ataupun perbuatan masyarakat semuanya diatur oleh hukum. Akan tetapi pertanyaanya adalah apakah hukum di Indonesia sudah benar-benar menjadi penglima tertinggi di Indonesia ? apakah hukum di tegakan ? ataukah hukum di Indonesia malah di bengkokkan ?

Pertanyaan yang selalu muncul disetiap warga negara termasuk saya yang masih dan selalu merasa sebagai warga negara Indonesia. Kita melihat banyak ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia yang membuat sebagian masyarakat Indonesia tidak percaya bahwa Indonesia ini adalah negara hukum.

Banyaknya elit pemerintahan yang seakan kebal terhadap hukum juga menjadi pertanyaan besar benarkah hukum menjadi panglima tertinggi di Indonesia. Kita masih ingat ketika anak dari M. Hatta Rajasa yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia yang menabrak dan mengakibatkan orang terluka dan bahkan meninggal dunia lolos begitu saja dari jeratan hukum yang berlaku. Bahkan konon katanya anaknya tidak pernah di tahan seharipun bahkan sejampun dalam penjara.

Apakah memang ada perlindungan khusus bagi anak dari para mentri yang bertugas ? apakah mentri dan keluarganya mendapatkan hak imunitas dari negara seperti halnya hak istimewa yang di dapatkan oleh para Diplomat ? tentu saja jawabannya tidak. Tidak ada yang mengatur dan tidak ada dasar hukum mengenai hal tersebut. Di Indonesia baik presiden maupun siapapun selaku pejabat pemerintahan yang melakukan kejahatan atau tindak pidana harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Baru itulah yang namanya negara hukum dan hukum di jadikan sebagai panglima tertinggi dalam sebuah negara.

Akan tetapi sangat disayangkan bahwa di Indonesia masih tampak jelas nepotisme yang berlaku, atau bahkan para penegak hukum takut untuk menghukum para keluarga pejabat negara karena adanya kekuatan yang mereka sendiri tidak bisa melawannya. Lalu apakah kita masih mengatakan bahwa di Indonesia itu mengenal lembaga eksekutif, legislative, dan yudikatif yang berbeda ranah kerjanya serta tidak boleh saling intervensi satu sama lain.

Ketika jajaran yudikatif di tingkat yang rendah, misalnya kepolisian tidak bisa melawan pihak eksekutif yang mempunyai pangkat yang lebih tinggi darinya karena menghormatinya ataupun takut padanya atau mungkin juga karena adanya intervensi dari dirinya. Tentunya masih banyak kasus kasus yang menandakan bahwa penegakkan hukum di Indonesia hanyalah sebuah ilusi dari para politikus negeri ini. Bukankah agenda awal dari reformasi adalah untuk menegakkan hukum ? di mana mereka para “angkatan 98” yang aktanya ingin menegakkan hukum di Indonesia ? hilangkah idealism mereka setelah menduduki posisi dan jabatan yang strategis di negara ini ?

Bahkan saya berfikir mareka yang kehilangan idealismenya saat ini mungkin pada saat menumbangkan masa orde baru dan menyuarakan reformasi dengan menegakkan hukum setinggi-tingginya hanyalah sebagai batu loncatan politis untuk mereka agar mereka mendapatkan legitimasi dari orang banyak. Kita melihat kenyataan bahwa hukum di Indonesia masihlah “dikalahkan” oleh politik. Pembuatan hukum yang tidak mementingkan kepentingan orang banyak melainkan hanya mementingkan kepentingan politik sangat terlihat jelas dalam hukum negara ini. Setiap orang yang mencoba menegakkan hukum di negara ini seakan di hilangkan dangan cara politik, bahkan lebih parahnya lagi ada anggapan yang mengatakan bahwa hukum di Indonesia telah dipolitisasi. Sedangkan kita ketahui bersama bahwa hukum dan politik itu sangatlah berbeda. Hukum akan selalu mengerjakan dan menunaikan apa yang ia katakan (tuliskan). Sedangkan politik adalah apa yang ia ketakan belum tentu akan dia kerjakan jika dia menganggap suatu saat itu tidak perlu.

Belum lagi kasus yang sedang terjadi saat ini di mana antara pihak yang saat ini mungkin masih konsisten dengan idealismenya untuk menegakkan hukum dan semoga akan selalu konsisten yaitu pihak KPK ketika ingin menegakkan hukum terhadap calon petinggi polri mendapatkan hadangan yang sangat besar dari pihak terkait. Bukankah keudanya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama ingin menegakkan hukum di Indonesia ? banyak masyarakat yang menjadi kebingungan akibat dari pertikaian antara kedua lembaga yang mempunyai tujuan yang sama ini. Masyarakat seakan dibuatkan presepsi bahwa hukum di Indonesia hanyalah untuk egelintir orang bukan untuk semua orang, hukum di Indonesia hanya untuk rakyat dan pejabat rendah bukan untuk mereka para penguasa dan pemegang kepentingan. Hukum di Indonesia malah jauh dari apa yang diagendakan pada saat awal reformasi. Hukum di Indonesia telah bengkok dan tidak pernah tegak berdiri akibat dari kepntingan-kepentingan segelintir orang yang bermain dibelakangnya.

Lalu apakah pemerintah masih bersikeras mengatakan bahwa pemerintah akan menegakkan hukum setinggi-tingginya ketika presiden Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan seakan hanya diam seperti presiden sebelumnya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono mendiamkan kasus yang terjadi antara pihak polri dan KPK ini. Berhentilah mengatakan omong kosong, itulah yang ingin kami sampaikan, semua agenda penegakkan hukum di Indonesia hanyalah buaian para politikus untuk mendapatka legitimasi dari rakyat. Haruskah nantinya rakyat yang menegakkan hukum mereka sendiri ? jika negara ini terus menerus membiarkan penegakkan humun menjadi ilusi maka bukan tidak mungkin rakyat akan bertindak anarki dan akan menegakkan hukum mereka sendiri. Dan mungkin saat ini di sekitar kita telah banyak terjadi.

Beberapa arti kata :
*Hak Imunitas : hak yang diberikan pada para Diplomat dimana mereka tidak bisa dihukum atas tindak kejahatan yang mereka lakukan di negara di mana ia ditempatkan jika ia melakukan suatu kejahatan. Termasuk di dalamnya dia tidak bisa di jadikan sebagai seorang saksi dari sebuah kasus yang terjadi.
*KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi
*POLRI : Polisi Republik Indonesia
*Angkatan 98 : adalah mereka para aktivis yang memperjuangkan agenda reformasi serta mereka yang telah berhasil meruntuhkan era orde baru yang dipimpin oleh presidensaat itu yaitu presiden Suharto.

Selengkapnya...

Selasa, 20 Januari 2015

Cicak Vs Buaya ; Sinetron Poli-(si)-tikus

oleh : Bagus S. Hardono

Sinetron yang terjadi di negeri kita tercinta ini bukan sekedar sinetron biasa yang seirng tampil di layar kaca setiap malamnya. Jika senetron yang tampil di layar kaca adalah kebanyakan dari kisah fiktif semata maka sinetron cicak vs buaya ini adalah kisah nyata yang telah, sedang, dan mungkin adakan berlanjut ke jilid selanjutnya. Cicak di sini diperankan oleh pihak KPK sedangkan Buaya adalah pihak kepolisian. Jika melihat ukurannya mungkin kita bisa tau bahwa buayalah yang akan memenangkan pertarungan, tapi siapa yang tau.

Cicak vs buaya pertama kali dimunculkan pada kasus mantan Kabareskim Mabes Polri yaitu Komjen Polisi Susno Duadji. Peristilahan cicak melawan buaya inipun lahir dari ucapannya yang mengatakan bahwa “Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.” (tempo.co)

Jelas dari perkataan dia tersebut seakan-akan bahwa adalah tidak mungkin cicak bisa menang melawan buaya yang saat itu sedang di incar oleh pasukan cicak. KPK yang pada saat itu diketuai oleh Antasari Azhar diserang habis-habisan oleh pihak yang tergolong dalam aliansi buaya itu, yaitu para pendukung koruptop. Mulai dari wakil pemimpin KPK yang dituduhkan dengan tuduhan yang tidak jelas sampai ketua KPK yaitu pak Antasari Azhar yang dituduhkan sebagai otak dari pembunuhan Nasrudin. Dengan digantungnya kasus dari mantan ketua KPK tersebut sekaligus menghilangkan bukti-bukti kasus yang lain, salah satunya adalah kasus century.

Akan tetapi pada akhirnya mantan Kabareskrim mabes polri tersebut yaitu Susno Duadji terbukti bersalah atas kasus korupsi PT Salma Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat. Selanjutnya Susno Duadji di vonis hukuman selama 3,5 tahun penjara.  

Dengan demikian berakhirlah kasus cicak vs buaya jilid satu. Yang menurut saya tidak dimenangkan oleh siapapun karena terbukti untuk membuktikan kasus korupsi di Indonesia masihlah dalam tahap yang mungkin atau tidak mungkin. Bagaimana tidak ketika kasus korupsi dan yang melakukan korupsi adalah pihak kepolisian maka akan selalu ada yang menjadi “tersangka” dari pihak KPK.

Lebih jauh terjadi lagi kasus cicak vs korupsi jilid 2 yang masih diperankan oleh pemeran yang sama, KPK dan pihak kepolisian. Ketua KPK yang saat itu telah berganti menjadi pak Abraham Samad (sampai sekarang) mencoba menahan dan membuktikan kasus korupsi simulator sim yang dilakukan oleh dua jendral polisi yang masih aktif yaitu Irjen Djoko Susilo dan Brigjen Didik Purnomo. Pada saat itu adalah pertama kalinya cicak memasuki sarang buaya yang sampai-sapai membuat cicak tersebut tidak diizinkan keluar selama satu hari dari sarang buaya tersebut, walaupun setelah adanya perundingan sang cicak bisa dikeluarkan dengan membawa alat bukti yang mereka ambil dari sarang buaya tersebut.

Pada jilid 2 kali ini pihak kepolisian menyerang penyidik KPK yang berasal dari kepolisian itu sendir dengan kasus yang terjadi di tahun 2004. Tapi pada akhirnya setegang apapun perseturuan yang terjadi pihak, oknum polisi yaitu Irjen Djoko Susilo dan Brigjen Didik Purnomo tetap ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan simulator sim. Didik Punomo sendiri dijatuhi hukuman pidana penjara selama 10 tahun penjara, lalu kemudian ditingkat banding pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukumannya menjadi 18 tahun penjara. Sedangkan Djoko susilo sendiri dari 10 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Djoko juga diperintahkan membayar uang pengganti senilai Rp 32 miliar subsider lima tahun penjara. PT DKI juga mencabut hak Djoko untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Pengadilan juga memerintahkan semua barang bukti yang telah disita dirampas untuk negara. (Nasional.kompas.com)

Dan sekali lagi senetron pada jilid 2 ini dimenangi oleh pihak KPK selaku berperan sebagai cicak yang mencoba menguak keburukan di tubuh buaya tersebut. komitmen yang diberikan oleh ketua KPK pada saat itu (sampai sekarang) memberikan harapan pada publik nantinya KPK bisa membersihkan negara ini dari penjajah-penjajah yang lahir dari masa orde baru, penjajah tersebut ialah para aktor yang berperan ganda sebagai warga negara yang baik sekaligus buruk.

Pada saat inipun kasus cicak vs buaya sepertinya akan berlanjut kembali ketika Presiden terpilih Ir. Joko widodo akan melantik Komjen Budi Gunawan sebagai satu-satunya calon kapolri. Pada saat akan di sahkannya Komjen Budi Gunawan tersebut, serentak pihak KPK memberikan dan menerbitkan penetapan tersangka kepada Komjen Budi Gunawan tersebut pada kasus dugaan suap dan gratifikasi  penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian.

Kasus inipun memunculkan kekhawatiran publik yang takut akan terjadinya cicak vs buaya jilid 3 seperti kasus kasus sebelumnya. Walaupun pelantikan kapolri ditunda oleh presiden dikarenakan penetapan tersebut, tetapi bola sudah digulingkan akan sulit untuk dihentikan ketika bola itu menuruni gunung.

Begitu banya kasus yang terjadi di tubuh kepolisian RI yang menyebabkan adanya tudingan bahwa polri adalah salah satu instansi terkorup yang ada di negara Indonesia. Tidak bia dipungkiri, pada masa penerimaan anggota kpolisian terjadi banya korupsi kolusi dan neoptisme di setiap tahapannya. Banyak yang rela menghabiskan jutaan bahkan ratusan milliard agar bisa masuk kedalam instansi pelayan masyarakat tersebut.

Kita ketahui bahwa iklan yang meyatakan bahwa penerimaan anggot kepolisian tidak dipungut biaya sama sekali adalah sala hsatu kebohongan. Karena jika kita menocoba semampu kita maka kita yang sebenarnya bisa masuk kedalam instansi pelayan masyaraat tersebut akan mudah tergusur oleh orang yang mempunyai kenalan di dalam polri ataupun oleh orang yang membayar lebih banyak. Walapun ada yang lulus secara murni tapi tidak banyak pula yang lulus secara tidak wajar.

Bagaimana polisi tidak melakukan korupsi jika baru masuk saja sudah melakukan korupsi ? bagaimana polisi tidak melakuka nopotisme jika saat masuk saja dia dibantu oleh “orang dalam”. Kasus-kasus yang terjadi dipihak kepolisian tidak akan pernah berakhir jika tida diselesaikan dari awal, yaitu dari pada saat penerimaan calon anggota polisi. Jika tidak  maka bukan tidak mungkin akan terjadi lagi cicak vs buaya jilid-jilid selanjutnya yang hanya akan menjadika negara ini menjadi bahan tertawaan negara yang lain.

Walaupun kita sebagai warga negara kita harus terus berusaha agar tidak akan terjadi lagi cicak vs buaya jilid selanjutnya, tapi dengan keadaan dan sistem perekrutan anggota kepolisian yang sangat memungkinan terjadinya KKN maka bukan tidak mungkin hal itu akan terjadi lagi. Kesombongan yang ada pada para pelayan masyarakat tersebut membuat mereka menjadi arogan dan melupakan hakekat mereka sebagai pelayan masyarakat. Itu semua adala hasil perekrutan yang buruk dari sistem perekrutan yang buruk pula maka output yang dikeluarkan yaitu anggota polisi yang buruk pula. Kita harus mencegah jangan sampai polisi yang dikatakan sebagai "anjing" negara (maaf), menjadi tikus negara yang kerjaanya hanya menggerogoti negara ini sampai habis. seperti pepatah hukum yang mengatakan bahwa Fiat justitia ruat caelum (tegakkan hukum walau langit akan runtuh)


Selengkapnya...

Minggu, 11 Januari 2015

Diri...

Oleh : Bagus  S. Hardono



Gelapnya sang malam
Tanpa cahaya tanpa petunjuk sang bulan
Kegelapan yang dibenci oleh banyak orang
Itulah diri…

                                Mencoba menemukan sang mentari
                                Sang mentari yang akan memberi cahaya pada bulan
                                Cahaya bulan untuk melangkapi sang malam
                                Itulah diri…

Sang malam tak akan menjadi indah tanpa cahaya
Kegelapan sang malam akan membuat ia di benci
Di benci oleh setiap makhluk yang menginginkan cahaya

                                Tapi, sang malam tak bisa mengelak dari hakekatnya
                                Sang malam harus menuggu datangnya mentari
                                Mentari yang akan memberi cahaya bulan padanya
                                Mentari yang sama yang akan melengkapi sang malam

Wahai diri..
Jika engkau adalah sang malam
Bersabarlah hingga datangnya sang mentari dari timur
Yakinkan mentari itu sedang menunggumu
Menunggumu untuk kembali padanya
Selengkapnya...

Rabu, 07 Januari 2015

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) : Awal Kebangkitan Indonesia ?

Oleh : Bagus S. Hardono

Bersamaan dengan ditandatanganinya ASEAN charter, para pemimpin ASEAN juga menandatangani cetak biru MEA[1] 2015 yang merupakan grand design MEA yang berisi jadwal strategis, yakni tahapan pencapain dari masing-masing pilar MEA. Target waktu pencapaian MEA terbagi empat fase yaitu 2008-2009, 2010-2011, 2012-2013, dan 2014-2015. Cetak biru ini menjadi arah bagi kawasan maupun negara anggota untuk mencapai MEA 2015. Masing-masing negara berkewajiban untuk melaksanakan komitmen dalam cetak biru untuk membentuk kredibilitas ASEAN[2].

Mengingat pentingnya perdagangan eksternal bagi ASEAN dan stategi pembangunan ekonomi di negara ASEAN yang outward looking, cetak biru MEA memuat 4 kerangka kerja atau pilar MEA, yaitu :

1.  ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenanga kerja terampil, dan aliran modal yang lebih bebas.
2.  ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, ha katas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan ­e-commerce[3].
3.  ASEAN sebagai kawasan dengan perkembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara CLMV[4] yang termuat dalam Initiative for ASEAN Integration.
4.  ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan koheren dengan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.

Keempat pilar MEA tersebut saling berkaitan satu sama lain. ASEAN sebagi pasar tunggal dan basis produksi internasional harus memiliki daya saing ekonomi yang tinggi, baik sebagai kawasan dalam kerangka persaingan dengan kawasan/negara lain, maupun anta individu anggota.

Mengingat kondisi dan keadaan ekonomi masyarakat Indonesia saat ini apakah memang sudah pantas Indonesia melaksanakan MEA di 2015 ini ? mengkin memang benar jika mengimplementasikan keempat pilar tersebut secara utuh maka Indonesia bisa menjadi negara yang sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar. Akan tetapi kita perlu melihat dan menginat keadaan masyarakat menengah kebawah. Dimana mereka melakukan usahanya dengan cara yang masih sederhana dan belum bisa dikatakan “bisa bersaing” dengan negara-negara  lain.

Tidak adanya skill yang mempuni juga akan mengakibatkan rakyat Indonesia nantinya hanya akan menadi “pembantu” di rumah sendiri. Dikarenakan pada MEA nantinya setiap individu dituntut untuk bisa berkompetisi dengan orang-orang yang sudah mempunyai berbagai pegalaman baik dari dalam negeri maupun luar negerinya.

Salah satu yang akan menjadi sasaran negara lain adalah kekayaan negara ini. Indonesia yang sangat kaya akan kekayaan alamnya yang tidak dipergunakan dan di kelola oleh pemerintah dan masyarakatnya dengan baik, nantinya pada saat berlangsungnya MEA akan menjadi milik orang asing yang berada di Indonesia. Lagi-lagi dikarenkan rakyat Indonesia yang masih belum faham dan belum mengerti hakekat dari persaingan global.

Pemerintahan yang masih korup juga bisa mengakibatkan menderitanya bangsa ini untuk kesekian kalinya. Birokrasi yang sangat mudah ditembus oleh uang, serta nepotisme yang masih mendarah daging disetiap lembaga pemerintahan nantinya akan berpotensi mengakibatkan bangsa Indonesia akan “terjajah” oleh negara asing untuk yang kesekian kalinya.

Bayaknya orang Indonesia yang tak mempunyai pekerjaan nantinya akan mendapatkan pekerjaan tapi dibawah orang asing sebagai pemimpinnya. Kekayaan Indonesia yang tak pernah dimanfaatkan akan dimanfaatkan di era MEA ini akan tetapi yang memanfaatkan adalah orang asing juga. Indonesia belumlah siap secara individu maupun birokrasi untuk menghadapi MEA 2015 ini. Banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui apa-apa tentang MEA takutnya akan membuat mereka tidak mempersiapkan dirinya untuk berkompetisi dengan orang lain.

Sifat orang Indonesiapun menjadi salah satu pengaruh apakah MEA nantinya akan membangun ekonomi masyarakat Indonesia atu tidak. Dikarenakan kebanyakan sifat masyarakat Indonesia yang lebih mencintai produk asing daripada produk dalam negeri akan mengakibatkan para pengrajin dan pengusaha menengah kebawa Indonesia akan “gulung tikar” karena tidak adanya pelanggan. Serta kurangnya rasa nasionalis yang ada disetiap individu akan menyebabkan dengan mudahnya masyarakt Indonesia nantinya untuk dipengaruhi dan dikuras habisa harta kekayaan negara ini.

Jadi apakah kita masih bisa mengatakan bahwa MEA itu bertujuan untuk memajukan dan membangkitkan kembali Indonesia yang dulunya sempat dijuluki “macan Asia” ? ataukah nantinya MEA hanyalah menguntungkan dan membuat sebagian atapun kelompok menjadi semakin sejahtera dan rakyat miskin semakin mendarta ? tapi apalah daya, 2014 telah berlalu dan sekarang adalah saat dimana Indonesia akan membuktikan “kesiapannya” menghadapi MEA di tahun ini. Bukanlah bersifat pesimis tapi jika melihat keadaan masyarakat Indonesia saat ini maka benarkah MEA nantinya akan membangkitkan lagi Negara Indonesia ini menjadi macan ASIA ataukah negara ini akan kembali ke masa penjajahan seperti dulu.


gambar by : siaurau



[1] Masyarakat Ekonomi ASEAN
[2] Bank Indonesia. Masyarkat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 : Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global. 2008. Penerbit : PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
[3] Electronic Commerce (E-Commerce) didefinisikan sebagai proses pembelian dan penjualan produk, jasa dan informasi yang dilakukan secara elektronik dengan memanfaatkan jaringan computer.
[4] Negara-negara CLMV tersebut adl Camboja,Laos, Myanmar, dan Vietnam.
Selengkapnya...

Senin, 05 Januari 2015

Hukum Perjanjian ; Franchise

FRANCHISE
SEBAGAI PERJANJIAN JENIS BARU
Disusun Sebagai Tugas Kuliah  
Mata Kuliah Hukum Perjanjian

Dosen Pengampu : Prihati Yuniarlin, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh :




FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2014


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb,
            Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan anugerah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Perjanjian ini yang berjudul Franchise Sebagai Perjanjian Jenis Baru.
            Makalah ini disusun berdasarkan pergulatan pemikiran dan masukan dari semua anggota kelompok dengan referensi dari beberapa buku, serta berita di media massa.
            Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi setiap pembacanya, namun demikian tetap disadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, tidak terlepas dari banyak kekurangan bahkan kesalahan. Sehubungan dengan hal tersebut kami mengharapkan kritik dan saran agar menjadi bahan revisi yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini serta makalah-makalah selanjutnya dan tidak lupa saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 17 Desember 2014


    (Tim Penyusun)

BAB 1
PENDAHULUAN

PERHATIAN !! Tujuan dari postingan ini adalah semata-mata untuk membantu kawan-kawan yang sedang mengerjakan tugas/bahan pembelajaran di sekolah ataupun kuliah, tolong pergunakan dengan baik jangan menjadi generasi BODOH yang hanya bisa mengcopy-paste tulisan orang lain. Bacalah dengan seksama dan bandingkan dengan yang lain. Mohon maaf, penulis hanya tidak mau menciptakan generasi BODOH tersebut dan juga penulis hanya seorang manusia yang bisa saja melakukan kesalahan. Terimakasih, semoga bermanfaat. (B.S.H.)

1.1.  Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai segala macam jenis berjanjian baik perjanjian tertulis maupun tidak tertulis, perjanjian bernama maupun tidak bernama, dan sebagainya. Kita harus sadari bahwa dalam kehidupan kita tidak luput dari perjanjian. Bahkan dalam hal kecil saja seperti jual beli di pasar atau supermarket kita sudah melaksnakan perjanjian atau kontrak.
Dalam tahun terkahir ini, konsep bisnis franchise (waralaba) akhir-akhir ini telah menjadi salah satu perjanjian yang populer yang memberi warna baru dalam dinamika perekonomian Indonesia. Franchise dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kegiatan perekonomian dan memberikan kesempatan kepada golongan ekonomi lemah untuk berusaha. Hal ini berarti Franchise dapat memberikan kesempatan kerja, pemerataan dan juga menciptakan lapangan kerja masyarakat.
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2007 tentang waralaba sebagaimana yang didukung dengan aturan pelaksana Peraturan Menteri Perdagangan No 3/M-DAG/PER/8/2008 tentang penyelengggaraan waralaba menyatakan bahwa yang dimaksud dengan waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap system bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba[1].
Orang perseorangan atau badan usaha yyang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya. Kepada penerima waralaba disebut dengan pemberi waralaba (Franchisor) sedangkan orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba umtuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba disebut dengan penerima waralaba (Franchisee).
Dari rumusan yang diberikan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa franchise merupakan suatu perikatan yang tunduk pada ketentuan umum mengenai perikatan yang diatur dalam Kintab Undang-Undang Hukum Perdata. Disamping itu franchise didalam melibatkan hak pemanfaatan dan atau penggunaan hak atas intelektual atau penemuan atau cirri khas usaha, yang dimaksudkan dengan hak atas intelektual meliputi antara lain merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang dan paten, dan yang dimaksudkan dengan penemuan atau cirri khas usaha yaitu system manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemiliknya.
Dalam prakteknya seringkali keberadaan franchise atau penerima waralaba dalam posisi yang lemah dibandingkan pihak franchisor atau pemberi waralaba. Dalam hal ini pihak franchisee tidak mempunyai banyak pilihan untuk menyetujui perumusan klausula dalam perjanjian franchise. Oleh karena itu, seringkali pihak franchisee dalam posisi yang tidak berimbang dalam perjanjian tersebut sehingga kurang dapat memberikan perlindungan hukum.
Maka untuk mengkerucutkan pembahasan dalam makalah kami ini, kami penulis mengajukan rumusan permasalahan sebagai berikut.
a.       Apakah kekurangan dan kelebihan dari franchise?
b.     Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap franchisee dalam perjanjian franchise (waralaba) di Indonesia?


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1.  Pengertian Franchise/Waralaba
Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba[2].
Menurut bahasa franchise berasal dari bahasa Prancis yaitu franch (bebas), fancher (membebaskan, memberikan hak istimewa), dan dalam bahasa Indonesia Franchis adalah waralaba. Waralaba itu sendiri adalah berasal dari kata wara yang artinya lebih dan laba yang artinya untung. Jadi Franchise/waralaba dalam bahasa Indonesia adalah usaha yang memberikan keuntungan lebih atau istimewa.
Sedangkan menurut para ahli franchise adalah sebagai sebuah lisensi merek dari pemilik yang mengijinkan orang lain untuk menjual produk atau service atas nama merek tersebut[3].
Dalam pengertian yang demikian dapat kita Tarik suatu kesimpulan bahwa seorang penerima waralaba juga menjalankan usahanya sendiri tetapi dengan mempergunakan merek dagang atau merek jasa serta dengan memanfaatkan metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba. Kewajiban untuk mempergunakan metode dan tata cara atau prosdur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba membawa akibat lebih lanjut bahwa suatu usaha waralaba merupakan usaha yang mandiri yang tidak mungkin digabungkan dengan kegiatan usaha lainnya (milik penerima waralaba)[4].
2.2.  Kelebihan dan Kekurangan Franchise
Dalam bukunya yang berjudul Franchising the Most Pratical and Excelent Way of Suceeding, Bambang N. Rachmadi menyatakan bahwa Franchise  sebagai kebijakan, strategi, dan pola untuk mengembangkan Usaha Kecil Mengah (UKM) sudah lama dikembangkan oleh negara-negara maju. Hal ini dikarenakan franchise mempunyai banyak kelebihan yaitu secara organisasi fanchise mempresentasikan sebuah aliansi kolaboratif yang mana keberhasilannya tergantung pada kerjasama antar franchisor[5] dan franchise[6].
Selain itu, waralaba juga dapat dipergunakan sebagai model pengembangan usaha ke pasar internasional utnuk melakukan investasi dan memandukan keuntungan lokal dengan keuntungan global. Disamping fanchise mempunyai kelebihan juga mempunyai kelemahan dan keterbatasan yang menimbulkan kerugian.
Dalam Small Business Management, Justin G. Longeneek, Charlos W. Moore dan J. William Petty mengidentifikasi ada tiga kekurangan franchise yaitu :
2.2.1. Biaya yang berhubungan dengan franchise  yang seringkali dituntut sangat tinggi oleh franchisor.
2.2.2. Pembatasan operasi yang membatasi kontrak franchise seperti membatasi daerah penjualan.
2.2.3. Hilangnya kebebasan sebagai akibat dibawah pengendalian langsung dari franchisor.

2.3.  Perlindungan Hukum Bagi Pihak Franchise dalam Kontrak Franchise
Berbagai analisis yang menyangkut materi perjanjian diatas yaitu manajemen, pajak, royalti[7] serta terkait penyelesaian sengketa akan memunculkan perhatian khusus bagi campur tangan negara atas lalu lintas franchising terutama aspek perlindungan hukum terhadap franchise, persoalan yang muncul terhadap bisnis franchise yang ada selama ini tidak terlepas pula oleh aturan atau ketentuan yang secara tegas mengatur bisnis franchise.
Pengaturan franchising melalui campur tangan negara bukan berarti bersebrangan dengan prinsip-prinsip pasar bebas atau perdagangan bebas, namun lebih tertuju pada penciptaan iklim bisnis franchise yang fair dan transparan, keseimbangan hak dan kewajiban para pihak merupakan dasar bagi pengaturan franchising yang telah begitu marak di Indonesia. Disamping itu campur tangan oleh negara pada prisipnya dilakukan sebagai upaya untuk mendinamisasikan perekonomian kelas menengah ke bawah sebagai mitra bisnis dengan perusahaan franchise, bukan dalam pengertian campur tangan yang bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak namun campur tangan yang dimaksud lebih ditujukan pada pembentukan kebijaksanaan bagi perjanjian franchise yang dibuat para pihak.
Keseimbangan kedudukan para pihak perlu diperhatikan untuk menghindari terjadinya monopoli bisnis oleh pihak tertentu yang pada akhirnya dapat menyebabkan market monopoly. Namun dalam praktek masih didapati perjanjian waralaba yang tidak didaftarkan padahal ini sebenarnya kurang memberikan jaminan perlindungan bagi bisnis franchise tersebut. Pendaftaran dapat dilakukan di instansi terkait dan umumnya di Departemen Hukum dan HAM.
Dalam klausul harus ditentukan penentuan jangka waktu dan dapat diperpanjang kembali, Hal ini penting sebab dengan jangka waktu yang relatif pendek seandainya terjadi pengakhiran perjanjian, maka penerima waralaba (franchise) dapat rugi karena investasi franchise, franchise fee, royalti, serta fee lainnya telah banyak dikeluarkan tetapi belum mendapat kompensasi keuntungan dari bisnis franchise yang dijalankan.
Perjanjian franchise merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan merugikan pihak lain. Hal ini dikarenakan perjanjian dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk menegakan perlindungan hukum bagi para pihak jika salah satu pihak melanggar perjanjian, maka pihak lain dapat menuntut ganti kerugian kepada pihak yang merugikan sesuai dengan hukum yang berlaku. Franchise perlu memperoleh perlindungan hukum akibat ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar (enequal bargaining power) dalam suatu perjanjian membuat kedudukan franchise tidak mempunyai posisi tawar yang cukup kuat untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya.
Franchisor menetapkan syarat – syarat dan standar yang harus diikuti oleh franchise yang memungkinkan franchisor membatalkan perjanjian apabila menilai franchise tidak dapat memenuhi kewajibannya. Perlindungan hukum bagi franchise dalam hal adanya posisi yang tidak berimbang dalam perjanjian antara franchisor dan franchise dapat dilakukan dengan cara yaitu pihak franchise dapat menolak melakukan prestasinya atau menolak melakukan prestasi selanjutnya, manakala pihak franchisor telah terlebih dahulu melakukan wanprestasi atau pelanggaran perjanjian. Pasal 8 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berisi franchisor wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, pembinaan, bimbingan, operasional, managemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada franchisee secara berkesinambungan. Sehingga apabila franchisee mengalami kesulitan dalam memasarkan franchisenya, maka franchisor bersedia melakukan pembinaan.[8]
Berdasarkan pasal tersebut, bila franchisor tidak melaporkan pendaftara prospectus penawaran waralaba/tidak melaukan pendaftaran perjanjian waralaba maka franchisor akan dikenakan sanksi.[9] Ini merupakan salah satu usaha pemerintah untuk melindungi franchisee dari franchisor yang hanya ingin mendapatkan keuntungan pribadi. Perlidungan hukum yang dapat diberikan kepada franchisee berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 serta Buku III KUHPerdata bersifat preventif atau pencegahan.
Franchisee juga wajib mendaftarkan perjanjian warabala.[10] Dengan adanya pendaftaran perjanjian warabala oleh franchisee maka franchisee diberi kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap hal-hal yang disampaikan oleh franchisor terkait propektus penawaran warabala terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian franchise. Selain terkait dengan pendaftaran perjanjian warabala maka franchisee juga dapat mengupayakan perlindungan hukum terkait hak kekayaan intelektual yang dimiliki oleh franchisor apabila terdapat pihak ketiga yang melakukan pelanggaran hak kekayaan intelektual. Franchisee dapat mengajukan upaya hukum baik secara litigasi maupun non litigasi sesuai kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian franchise.
Dilihat dari ruang lingkup dan konsepnya, sebenarnya perjanjian franchise berada di antara perjanjian lisensi dan distributor. Ada pemberian izin oleh pemegang hak milik intelektual kepada pihak lain untuk menggunakan merk ataupun prosedur tertentu merupakan unsur perjanjian lisensi. Di lain pihak juga adanya quality control dari franchisor terhadap produk-produk pemegang lisensi yang harus sama dengan produk-produk lisensor, seakan-akan pemegang franchise merupakan distibutor franchisor. Sebagaimana dalam perjanjian lisensi, pada perjanjian franchise juga pemegang franchise wajib membayar sejumlah royalty untuk penggunaan merek dagang dan proses pembuatan produk yang besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian. Dalam hal demikian pihak franchisor tidak peduli apakah pemegang franchise untung atau tidak. Disamping harus membayar royalty, pihak pemegang franchise juga sering harus memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh franchisor untuk mendesian perusahaan sedemikian rupa sehingga mirip dengan desain perusahaan franchisor. Begitupula dengan menajemennya, tidak jarang franchisor juga memberikan assistensi dalam manajemen.
Dalam hal demikian pemegang franchise perlu membayar fee tersendiri kepada assistensi tersebut. Tidak jarang pula franchisor dalam pembuatan produknya mewajibkan pemengang franchise untuk membeli bahan-bahan dari pemasok yang ditunjuk oleh franchisor. Bahkan kadang-kadang pemegang franchise berdasarkan perjanjian memperbolehkan franchisor melakukan auditing terhadap keuangan pemegang franchise. Semua ini diwajibkan oleh franchisor dengan alasan quality control. Namun dilain pihak melalui perjanjian lisensi maupun franchise diharapkan terjalinya alih teknologi antara franchisor terhadap franchisee. Walaupun saat ini Indonesia belum mempunyai Undang-undang yang secara khusus mengatur bisnis warabala, namun keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Warabala telah cukup memberikan landasan hukum bagi bisnis warabala di Indonesia. Namun demikian, tentunya peraturan perundang-undangan tersebut di atas tidak akan berguna apabila tidak ada upaya penegakkannya, khususnya dalam.
   Dengan demikian, meskipun Undang-undang yang khusus mengatur tentang warabala belum ada maka Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Warabala juga didukung ketentuan-ketentuan yang dapat mendukung kepastian hukum dalam bisnis warabala saat ini yakni sebagai berikut :
2.3.1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
2.3.2. Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.  
2.3.3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
2.3.4. Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
2.3.5. Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Warabala.



BAB 3
KESIMPULAN

3.1.  Kelebihan franchise adalah secara organisasi fanchise mempresentasikan sebuah aliansi kolaboratif yang mana keberhasilannya tergantung pada kerjasama antar franchisor dan franchise. Selain itu, waralaba juga dapat dipergunakan sebagai model pengembangan usaha ke pasar internasional utnuk melakukan investasi dan memandukan keuntungan lokal dengan keuntungan global.
3.2.  Sedangkan kekurangannya adalah sebagai berkut :
3.2.1. Biaya yang berhubungan dengan franchise  yang seringkali dituntut sangat tinggi oleh franchisor.
3.2.2. Pembatasan operasi yang membatasi kontrak franchise seperti membatasi daerah penjualan.
3.2.3. Hilangnya kebebasan sebagai akibat dibawah pengendalian langsung dari franchisor.
3.3.Meskipun Undang-undang yang khusus mengatur tentang warabala belum ada maka Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Warabala juga didukung ketentuan-ketentuan yang dapat mendukung kepastian hukum dalam bisnis. Semuanya telah diatur dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah agar franchise terhindar dari tindakan sewanang-wenang dari franchisor[11].

DAFTAR PUSTAKA
-  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
-  Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 Tentang Waralaba
- Makalah Ibu Ani Yunita, S.H.  Di dapat pada saat seminar ilmiah. 2013. Ruang sidang FH UMY.
-  Gunawan Widjaja. 2003. Waralaba. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
- Moch. Najib Imanullah. “Pengaruh Berlakunya Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba Terhadap Pertumbuhan Warlaba di Surkarta”. Jurnal Yustisia, Edisi 80. Agustus 2010.
-  Maxmanroe. “Definisi Waralaba atau Franchise”. 14 Januari 2013. http://www.pengusaha.co/thread-104-definisi-waralaba-atau-franchise.html#. Diakses pada tanggal 17 Desember 2014.
-  Zehan Widiastuti. “Perkembangan Waralaba di Indonesia”. 09 April 2014. http://zehanwidiastuti.wordpress.com/2014/04/09/perkembangan-waralaba-di-indonesia/. Diakses pada tanggal 17 Desember 2014.

NB : Sumber utama dari makalah ini adalah materi dari Ibu Ani Yunita, S.H. selaku asissten dosen di fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang dibagikan pada saat seminar ilmiah fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Terimakasih kepada beliau karena makalahnya sangat membantu kami dalam penyusunan tugas kami ini”





[1] Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
[2] pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba
[3] Campbell Black dalam bukunya Black’s Law Dict.
[4] Ibid., hal.08. Diambil dari Makalah Ani Yunita, S.H. hal. 10.
[5] Orang atau badan usaha yang memiliki konsep, merek produk dan, di mana franchisor menguasai, mengembangkan dan memberikannya melalui kontrak perjanjian franchise.
[6] Orang atau badan usaha yang memperoleh hak mereproduksi konsep franchisor di mana franchisee terikat dengan kontrak perjanjian.
[7] Jumlah yang dibayarkan untuk penggunaan properti, seperti hak paten, hak cipta, atau sumber alam.
[8] Lihat Pasal 8 PP. No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba
[9] Sanksi berupa denda dan pencabutan surat tanda pendaftran waralaba (STPW)
[10] Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Warabala
[11] Ani Yunita, S.H. dalam seminar ilmiah di ruang sidang FH UMY.
Selengkapnya...
 

#About

Hai, terimakasih telah berkunjung. Saya adalah bongkahan kesederhanaan yang diberi nama Bagus Setiawan Hardono. Berasal dari desa Muntoi Timur, Bolaang Mongondow, Sulawasi Utara

#Blogroll


#Blogger news