Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 23 Juni 2014

DPR dan DPD : Pahlawan dan Pembantu Pahlawan



Seperti yang kita ketahui bersama, hasil amandemen UUD 1945 telah mengubah sistem dan struktur parlemen di Indonesia yang semula menerapkan sistem unicameral sekarang menjadi bicameral. Pada hakekatnya dulu antara DPD dan DPR berada dalam satu kamar (unicameral) yang menyebabkan tidak adanya/menghilangnya fungsi dari DPD karena semua diambil alih oleh DPR. Oleh karena itu, maka DPD mengajukan perubahan terhadap UUD 1945 dan hasilnya terbentuklah sistem bicameral.

Pada hakekatnya sistem bicameral ini memisahkan antara kamar DPD dan DPR untuk (1) memaksimalkan keterwakilan (representation) dan (2) membangun sistem checks and balances dalam lembaga perwakilan, serta membuka peluang pembahasan berlapis (redundancy) untuk memperluas dan memperdalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik yang berdampak besar bagi rakyat. (Ginadjar Kartasasmita, op. cit., hlm. 10)

Giovanni Sartori membagi model bikameral menjadi 3 jenis, yaitu: (1) sistem bikameral yang lemah (soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar yang lainnya; (2) sistem bikameral yang simetris atau relatif sama kuat (symmetric bicameralism atau strong bicameralism), yaitu apabila antara dua kamar nyaris sama kuat; (3) perfect bicameralism, yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar seimbang.

Yang dianut Indonesia sekarang ini adalah soft bicameralism  yaitu di mana salah satu kamar jauh lebih mendominasi atas kamar yang lainnya. Ini terlihat jelas antara DPD dan DPR di mana kekuasaan yang dimiliki DPR jauh lebih besar daripada kekuasaan yang dimiliki oleh DPD. Padahal jika difikir kembali harusnya kekuasaan yang mereka miliki seimbang karena mereka sama-sama merupakan sebuah lembaga perwakilan yang memiliki fungsi dan tujuan sendiri.

Salah satu contoh adalah salah ketika dalam pembentukan peraturan atau undang-undang DPD sama sekali tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan keputusan sama sekali. DPD hanya terlibat dalam proses pengajuan sampai pembahasan saja sedangkan untuk proses persetujuan merupakan kewenangan dari DPR dan president.

Polemik yang terjadi sebenarnya sudah sangat lama. DPD sudah sering mengajukan PK kepada mahkama konstitusi mengenai UUD 1945 yang sangat membatasi fungsi dan kewenangan DPD. Padahal jika kita berfikir kembali betapa sulinya menjadi anggota DPD karena kita harus memenangkan suara di satu daerah dan itupun tanpa kendaraan partai politik. Berbeda halnya dengan DPR yang hanya perlu memenangkan suara di suatu wilayah maka dia sudah bisa menjadi anggota DPR dan itupun sudah dibantu oleh kendaraan politik.

Harusnya sebuah perjuangan yang kuat mengharuskan tanggungjawab yang besar dan sebuah tanggungjawab yang besar mempunyai kewenangan yang besar pula. Akan tetapi berbeda halnya yang terjadi dinegara kita, seakan-akan para pejuang daerah tidak terlihat perjuangannya dan seringkali dianggap sebagai actor yang berperan di belakang layar dan DPRlah yang menjadi actor utamanya.

Hak dan kewajiban yang harusnya sama didapatkan oleh DPD dan DPR untuk menjalankan tugas dan fungsinya dibatasi oleh peraturan-peraturan yang hanya menguntungkan pihak DPR saja seakan-akan merekalah pahlawan dari Negara dan DPD adalah yang membantu pahlawan itu.
 

#About

Hai, terimakasih telah berkunjung. Saya adalah bongkahan kesederhanaan yang diberi nama Bagus Setiawan Hardono. Berasal dari desa Muntoi Timur, Bolaang Mongondow, Sulawasi Utara

#Blogroll


#Blogger news